Memahami Arti Feminisme, Mengulik Informasi yang Keliru

WhatsApp Image 2024-12-31 at 16.31.10_73372894

Seorang penulis yang hebat kebanyakan lahir dari lingkungan produktif yang rajin membaca. Pernah mendengarnya? Benar, saya sepakat dengan hal itu, jika tidak lantas hal apa yang membuat sebuah tulisan menjadi indah dan benar selain lingkungan, hasil bacaan, dan pengalaman?

Percuma jika pengalaman yang menarik itu tidak diiringi dengan membaca, lantas bagaimana seseorang tanpa membaca dapat menulis? Seseorang yang tidak mengetahui sesuatu lantas menulis tentang sesuatu itu? Misalnya, seorang tanpa dibekali pengalaman yang melibatkan kopi atau mempelajari (membaca) perihal kopi guna mencari informasi terkait kopi, lantas berbicara pada orang-orang beginilah jenis, bentuk, ciri-ciri, hingga rasa kopi. Hanya semerta-merta presiden mengatakan jika kopi itu demikian, apakah itu langsung menjadi kebenaran?

Apakah semua perlu validasi? Tentu! Bahkan perihal akidahmu itu sendiri. Pada paragraf ini, kita tidak akan membahas panjang lebar perihal apa itu ontologi, epistemologi, dan aksiologi sebagai logika filsafat untuk menguji kebenaran, ringkas saja sebagaimana Rivaldi yang tidak ingin bertele-tele dengan tulisannya yang berjudul Habisnya Masa Berlaku Gender di Indonesia agar pembaca tidak bosan. Pada validasi isi dan konstruk sederhananya ialah dengan membuktikan tentang kebenaran yang dimaksud melalui cara logika, data (fakta dan referensi), berdasarkan teori yang tepat.

Oke, mari kita coba!

Mengulik Permasalahan Gender dan Arti Feminisme

Kita jadikan tulisan milik Rivaldi sebagai bahan untuk diuji. Tentu saja, sekali lagi ini hannyalah bagian sedikit  dari opini penulis agar menghindari pembaca yang bosan jika tulisannya agak ke sana-sini. Saya mohon untuk diizinkan mengutip isi dari tulisannya ya, Kak.

Kutipan Pertama, “Seperti yang kita tahu, gender adalah sifat yang melekat pada jenis kelamin,”. Apakah benar  jika gender adalah sifat yang melekat pada jenis kelamin? Namun berdasarkan uji logika, seperti yang kita tahu, sementara Anda tidak memiliki ukuran pengetahuan pembaca atau kata “kita” yang dilekatkan subjek.

Dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) V, gender memiliki arti jenis kelamin. Apakah jenis kelamin memiliki sifat yang melekat padanya? Sementara, jenis berarti ciri-ciri untuk opsi pembeda, dan kelamin yang saya tahu dari KBBI V ialah alat reproduksi (membuat keturunan bagi tumbuhan, hewan, manusia).

Mungkin sebagaimana yang dipahami Rivaldi pada lanjutan kalimat tersebut, yakni “… tanpa melihat dari jenis kelaminnya.” Jika dipadukan, maka alat reproduksi tidak memiliki sifat yang melekat padanya sebab ia hanya sebagai sarana pemberi keturunan, hal ini berdasarkan pendapat Mansour Fakih (2013) menjelaskan secara sederhana dalam bukunya Analisis Gender & Transformasi Sosial bahwa, untuk memahami konsep gender harus dibedakan kata gender dengan kata Sex (jenis kelamin).

Menurutnya, pengertian jenis kelamin merupakan penyifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu. Lagian, kata “gender” sangat baru di KBBI V, pada KBBI IV gender hanya berarti gamelan Jawa. Maka dari itu, ketidakmapanan bahasa dan pemaknaan yang diambil secara begitu saja dari terjemahan asal katanya dari bahasa latin yakni Genus. Padahal, terdapat makna atau maksud dari hal itu, hanya saja KBBI masih belum bisa membedakan antara kata arti dan makna (sebagaimana yang dijelaskan oleh J.D Parera dalam Semantik, KBBI tidak memiliki rumusan yang tepat tentang makna).

Karena bahasa Indonesia itu lahir terbelakang (1953) dibanding kamus lainnya, dan isinya hanya hasil asimilasi antara bahasa, maka kita perlu mencari tahu pengertiannya di luar dari KBBI. Misalnya dalam Webster’s New World Dictionary yang telah ada sejak awal abad 18, di situ Gender diartikan sebagai “Perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku”. Dengan ini, menunjukkan kekeliruan Rivaldi dalam memahami apa yang dimaksud gender.

Kutipan Kedua, “Gender sering kali merugikan pihak perempuan dan menguntungkan laki-laki,”. Benarkah gender merugikan pihak wanita dan menguntungkan pria? Sementara, kebenaran gender adalah perbedaan tentang nilai dan tingkah laku antara pria dan wanita. Perbedaan nilai yang mana dan tingkah laku apa yang merugikan wanita? Bagian mana yang menguntungkan pria? Lanjut Rivaldi dalam kalimat berikutnya menjelaskan jika, “Karena adanya bias gender yang menguntungkan satu pihak dan merugikan pihak lain,”. Kalimat itu menjadi acuan saya terhadap jawaban dari pertanyaan saya di atas.

Bias dalam KBBI V dijelaskan sebagai sebuah simpangan yang bermakna tidak sesuai (berbelok), Kania (2015) menjelaskan bahwa, “Bias gender adalah suatu sistem dan struktur yang menempatkan laki-laki maupun perempuan sebagai korban dari sistem tersebut.” Mansoer Fakih (2013) mempertegas akibat dari bias gender yakni “Kekerasan yang disebabkan oleh bias gender ini disebut Gender-Related Violence.

Pada dasarnya, kekerasan gender disebabkan oleh ketidaksetaraan kekuatan yang ada dalam masyarakat. Dari penjelasan di atas bisa kita paham bahwa yang ditulis oleh Rivaldi keliru, dari gender yang merugikan salah satu pihak, padahal pria dan wanita memiliki kehendak untuk menentukan nilai dan tingkah lakunya sendiri (hal ini menjadi panjang jika kita menyentil konsep etika milik masyarakat).

Kemudian, bias gender sebagai penyebab kekerasan terhadap pria dan wanita karena ketidaksetaraan kekuatan sebagaimana penjelasan Mansoer Fakih membuktikan bahwa hal ini tidak cenderung ke salah satu seperti klaim tidak berdasar Rivaldi dalam tulisannya.

Kutipan Ketiga, “Namun, kesetaraan gender yang belakangan ini diperjuangkan oleh aktivis cenderung egois dan berlebihan.” Membaca ini, saya dibuat bingung, pertama aktivis feminisme yang dimaksud itu siapa? Serta egois dan berlebihan itu bagaimana, dan standarnya apa? Secara logika sederhana, kalimat ini tidak utuh sebagai sebuah informasi.

Selanjutnya perihal yang dikatakan yakni perjuangan aktivis yang egois dan berlebihan, saya curiga, Rivaldi menulis berdasarkan emosi saja tanpa dasar dan sadar. Perjuangan dalam KBBI V memiliki arti perkelahian (merebut sesuatu) dan usaha yang penuh dengan kesukaran dan bahaya. Dengan arti ini, menjelaskan bahwa perjuangan itu terlibat dalam sebuah perkelahian untuk berebut sesuatu yang disebut dengan kesetaraan atas gender, usaha ini dilakukan secara sukar meski ia tahu bahaya.

Sementara, dalam psikologi maupun filsafat menerangkan jika ciri-ciri awal seorang yang egois ialah mementingkan dirinya sendiri. Maka untuk mengujinya, saya ingin bertanya perjuangan mana yang tidak akan egois? Dia merebut sesuatu (memperjuangkan) yang memang untuk kepentingan dirinya sendiri guna mendapatkan haknya kembali. Jika itu dikatakan berlebihan, maka hapuskanlah kata perjuangan dalam kalimat itu, karena perjuangan menuntut untuk merebut sesuatu terlepas dari caranya seperti apa (bahkan kadang perjuangan perlu untuk mengecualikan cara ini).

Saya beri contoh, Anda memiliki hak atas tanah milik sendiri, akan tetapi jika tanah tersebut direbut oleh negara maka dia akan menggunakan dalih apa pun? Misalnya memaksa bahkan membunuh Anda agar itu dia dapatkan. Apakah Anda sebagai pemilik tanah akan diam saja jika tanah tersebut direnggut? Saya kira itulah hak yang sedang diperjuangkan oleh aktivis feminisme, dan sudah seharusnya dalam perjuangan harus egois. Logika itu benar.

Keempat, dalam menjelaskan fakta yang menjadi argumen feminisme Rivaldi tidak mencantumkan asal kutipannya dari mana, sehingga membuat data ini gagal sebagai bentuk validasi, akibatnya tulisan ini tidak bisa dijadikan acuan untuk mendapatkan sebuah kebenaran dalam fenomena tersebut. Kalau kata dosen saya, terlalu banyak mengandai dengan cara yang tidak logis. Hal yang berbasis data haruslah referensial, itulah mengapa dalam dunia akademik perlu diberi keterangan dalam kajian teori dan daftar pustaka.

Perbandingan yang Subjektif

Lebih lanjut dalam bagian tersebut, Rivaldi menjelaskan perbandingan yakni, “Feminis selalu membawa mengenai kesuksesan yang dimiliki pria. Namun, mereka tidak mau melihat fakta bahwa kehidupan sukses itu tentu saja lahir dari kerasnya hidup yang pria alami.” Misalnya si Vale (wanita) mengatakan 1+1=2 dan si Selena (pria) mengatakan 1+2=3, tentu ini hasil yang berbeda dengan pengerjaan yang sama. Namun ini adalah perbandingan yang tidak setara, seharusnya 1+1 dengan 1+1.

Maka dari itu, seharusnya Rivaldi yang tidak sepakat menunjukkan kesalahan anggapan dengan argumentasi yang setara. Jika berdasarkan kutipan sebelumnya, kerasnya hidup itu bersifat subjektif, manusia memiliki standar masing-masing untuk dikatakan hidup yang keras itu seperti apa. Seharusnya seperti pada bagian kutipannya “Pekerjaan berat seperti mengangkat galon akan mereka serahkan kepada laki-laki.” Maka perbandingannya ialah, wanita mampu atau tidak untuk mengangkat galon? Kembali ke Selena dan Vale, jika menurut Selena pendapat milik Vale keliru, maka ia perlu menunjukkan kekeliruannya sehingga mereka akan sampai pada pemahaman yang sama dan hasilnya akan akurat (benar sesuai kesepakatan).

Sehingga, dengan ini akan ada pembaharuan gagasan akan sebuah kebenaran kehidupannya siapa yang lebih berat jika mereka memiliki standar yang sama untuk diadu. Karena berdasarkan hasil pengamatan empiris saya, ibu saya bahkan mampu mengangkat 5 galon, membuat batako, serta mendirikan rumah dan pagar yang membutuhkan kurang lebih 5.000-an batako (berbeda dengan saya yang mengangkat ratusan saja sudah mengeluh kelelahan dan tidak mampu). Maka dari itu, ketika Rivaldi menanggapi hal tersebut dengan tulisan opininya, sejak saat itulah dia telah terlibat dalam sebuah kompetisi sosial untuk saling mempengaruhi dan bersaing secara gagasan.

Kelima (terakhir), “Namun, kini perjuangan itu berbeda, mereka para perempuan feminisme cenderung rakus dan menginginkan lebih. Perempuan menginginkan wilayah domestik tidak hanya diisi oleh perempuan, namun juga laki-laki.” Kutipan ini terdapat pada bagian sejarah singkat kesetaraan gender dan memang benar, sangat-sangat singkat. Saya kira itu tidak masuk dalam pemaparan sebuah sejarah tentang kesetaraan gender, sebab sejarah adalah rentetan peristiwa.

Memahami Arti Feminisme yang Keliru

Jika ingin membahas sejarah kesetaraan gender, saya kira itu beranjak dari awal mula ada wanita dan pria itu sendiri. Back to The Topic, Ayey. Saya tidak yakin jika Rivaldi memahami apa itu feminisme, meski secara mendasar saja. Feminisme adalah sebuah ideologi, sementara ideologi menurut KBBI V ialah konsep atau sistem, cara berpikir, dan sebuah paham. Dari sini kita bisa memahami, bahwa feminisme itu bergantung pada individu yang berpikir dan berpaham tentang suatu konsep atau sistem tentang feminisme itu sendiri. Sehingga, memahami feminisme itu tergantung pada tokoh feminisme yang akan dijadikan referensi.

Dia membahas sejarah namun mencantumkan Bety Friedan yang masuk pada era ke dua feminisme yang memiliki konsep Libertarian, yakni wanita liberal atau bebas. Bety dan gerakannya terinspirasi dari maha karyanya Simone de Beauvoir (mantan kekasih Jean Paul Sartre) yang berjudul The Second Sex (1949) sehingga selang 14 tahun, yakni pada tahun 1963  buku pertamanya The Feminine Mystique telah terbit dan menjadi rujukan feminis modern.

Saya menyarankan Rivaldi untuk membaca buku Beauvoir untuk memahami konsep sederhana feminisme Libertarian. Meski begitu, mereka berdua berbeda kelompok, berbeda cara untuk menggapai emansipasi. Saya cerita sedikit, agar Rivaldi sedikit paham tentang apa yang ditulisnya, di Amerika terdapat dua kelompok yang disebut dengan aliran feminisme kiri dan aliran feminisme kanan, sejatinya tujuan inti mereka sama, namun berbeda cara analisis, menyimpulkan, bergerak.

Bahkan sebelum Kartini idamanmu yang tidak pernah merasakan kesengsaraan wanita, ada Emma Goldman yang Like a Gold, but not the Man dalam sebuah perjuangan kebebasan dan kesetaraan wanita, salah satu bukunya yaitu Ini Bukan Revolusiku dan banyak lainnya hasil terjemahan dari kawan-kawan feminisme-anarkisme di Indonesia. Selebihnya bisa cari di Google ya, banyak E-Book  yang membahas topik itu. Maka dari itu, ketika Rivaldi menanggapi hal tersebut dengan opininya, sejak saat itulah dia telah terlibat dalam sebuah kompetisi sosial untuk saling memperngaruhi dan bersaing secara gagasan.

Kita lanjut pada wanita sekarang yang cenderung rakus, Rivaldi mengatakan rakus dengan alasan wanita menginginkan wilayah domestik tidak hanya diisi oleh wanita, namun juga pria. Dengan memperbandingkan jika wanita tidak ingin mengangkat galon dan menyerahkannya pada pria. Selayaknya konsep feminisme itu tidak selalu sama, tiap wanita pun berbeda. Saya sekali lagi dibuat bingung, siapa wanita itu? Siapa feminis itu? Hmm, berikan saya waktu untuk menduga. Oh, mungkin ia beranjak dari lingkungannya, pantas saja.

Saya memiliki lingkungan yang berbeda dengannya, saya dikelilingi wanita hebat yang mampu untuk mandiri bahkan saya pernah pasrah dan ditolong oleh ibu yang juga wanita yang hebat. Dia tidak tahu apa itu feminisme, bagaimana feminisme, siapa pemikirnya, tapi ia bisa sekuat itu, apa perlu saya katakan ke ibu saya jika wanita di sekitar Rivaldi ingin belajar tentang cara hidup feminis ala ibu saya yang mampu mengangkat 5 galon?, 5000-an batako, mencampur semen dan pasir untuk membangun rumahnya sendiri? Hehe… itu saya bercanda.

Rivaldi mengatakan wanita sekarang rakus untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan, saya tidak membaca dan melihatnya seperti itu. Yah, sekali lagi referensinya adalah lingkungannya. Menurut apa yang saya baca, saking rakusnya Emma Goldman (1869 – 1940), dia mengatakan, “Jika aku tidak dapat menari, maka itu bukan revolusiku”. Dia bahkan merelakan revolusi yang sangat ia inginkan dan perjuangkan demi sebuah kebebasannya untuk menari. The Red Emma (julukannya) bahkan dalam gerakan-gerakan perubahannya ia hanya menginginkan dua saja, yaitu kemenangan dan kebebasan. Kurang rakus apa The Red Emma ini? Itu abad 18 loh, sekarang abad 21. Saya rasa itu cukup untuk menjelaskan ketidakrelevannya bagian ini.

Jadi, kesimpulan perihal, ”Feminisme masa kini terlihat egois dibandingkan dengan perjuangan mereka dulu.” Dalam tulisannya itu keliru, karena sekali lagi itu adalah perbandingan keliru yang beranjak dari kegagalan memahami apa itu gender hingga kegagalan membahas sejarah feminisme. Tentu saja, ini tulisan opini yang subjektif, namun tak berdasar dan tidak kredibel sebagai informasi.

Selain itu, terdapat beberapa kesalahan terminologi, pemahaman, dan berpikir, sehingga fondasi pemikiran yang keropos tersebut malah membuat rumah ilmu pengetahuan menjadi runtuh. Dengan ini, teman-teman semoga memahami betapa pentingnya banyak membaca sebelum banyak menulis.

“Dan Anda serta saya, bermakna setiap laki-laki dan perempuan; setidak-tidaknya laki-laki dan perempuan yang baik adalah mereka yang membenci  penindasan dan mencintai kebebasan, yang tidak tahan terhadap kesengsaraan dan ketidakadilan yang mengisi dunia sekarang ini.”

Alexander Berkman (Anarkhisme dan Revolusi Sosial)

 

Dipublikasikan pada: 13 Agustus 2022

Penulis: Galang Panrenrengi

Editor: Hudalil Mustakim

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Bergabung di Buletin Growthney dan dapatkan email pemberitahuan dari kami!

We promise we’ll never spam! Take a look at our Privacy Policy for more info.

5 Essai Pilihan

Section Title

⚡Terpopuler Pekan Ini