Undang-Undang 13 tahun 2022 Tentang Proses pembentukan Undang-Undang kira-kira bisa disebut sebagai kitab suci pembentukan perundang-undangan dalam upaya memprluas partisipasi masyarakat, sehingga pada prinsipnya semua kerja-kerja legislasi haruslah merujuk pada apa yang tertulis di dalamnya.
Belum lama ini akhirnya saya memutuskan untuk mengakuisisi pekerjaan yang seharusnya dikerjakan oleh Malaikat Atid (mencatat dosa). Berawal setelah berbagai media pemberitaan, memberitakan bahwa DPR DAN PEMERINTAH sedang mengebut secara diam-diam undang-undang Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam ruangan Hotel mewah berbintang lima di Jakarta, proses pembahasan ini kemudian menjadi sorotan publik pasca Media pemberitaan dan komisi untuk orang hilang dan korban tindak kekerasan (KONTRAS) berhasil menggerbek perbuatan dosa antara Pemerintah dan Wakil Rakyat di hotel mewah.
Istilah perbuatan dosa oleh penulis digunakan untuk menjelaskan proses revisi undang-undang dengan jalur ngebut-ngebutan dan diam-diam,yang adalah hukumny bid’ah dolala (haram) tentunya karena hal ini menyipang dari ketentuan-ketentuan normatif dalam kerja legislasi.
Undang-undang No. 13 Tahun 2022 perbuahan atas Undang-undang No. 11 Tahun 2012 serta undang-undang No.15 Tahun 2019 perubahan atas undang-undang No 11 tahun 2012 tentang proses pembentukan undang-undang dengan terang menjelaskan bahwa dalam setiap proses pembentukan undang-undang seharusnya melibatkan publik secara luas. Lebih jauh lagi dijelaskan dalam Undang- Undang No. 13 tahun 2022 pasal 96 yang memperkuat posisi masyarakat dalam proses legislasi, tentang partisipasi publik, dikutib langsung pasal 96 bahwa Undang-undang 13 tahun 2022; Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam setiap tahapan, pemberian masukan masyarakat yang dimaksud, dilakukan secara daring atau luring. Adapun msyarakat sebagaimana dimaksud, merupakan orang perseorangan atau kelompok orang yang terdampak langsung atau mempunyai kepentingan atas materi muatan Rancangan Peraturan Perundang-undangan. Untuk memudahkan masyarakat dalam memberikan masukan, setiap Naskah Akademik atau Rancangan Peraturan Perundang-undangan, dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat. Dalam melaksanakan hak sebagaimana dimaksud, pembentuk Peraturan Perundang- undangan menginformasikan kepada masyarakat tentang Pembentukan Peraturan Perundang undangan, dan untuk memenuhi hak sebagaimana dimaksud, maka dapat melakukan kegiatan konsultasi publik melalui: rapat dengar pendapat umum, kunjungan kerja, seminar, lokakarya, diskusi; atau kegiatan konsultasi publik lainnya.
baca juga: https: Dipaksa Menjadi Soft Spoken
Hasil kegiatan konsultasi publik sebagaimana dimaksud, menjadi bahan pertimbangan dalam perencanaan, penyusunan, dan pembahasan Rancangan Peraturan Perundang-undangan. Pembentuk Peraturan Perundang-undangan dapat menjelaskan kepada masyarakat mengenai hasil pembahasan masukan masyarakat sebagaimana dimaksud. Dan Ketentuan lebih lanjut mengenai partisipasi masyarakat, diatur dalam Peraturan DPR, Peraturan DPD, dan Peraturan Presiden.
Mahkamah konstitusi pasca putusan 91/PUU-XVIII/2020. Tentang undang-undang cipta kerja yang di anggap haram pada saat itu, juga memberikan dalil penting atas posisi partisipasi masyarakat yang seharusnya lebih dieprkuat, oleh majelis hakim dalam putusan dikatakan bahwa seharusnya Partisipasi masyarakat setidaknya memenuhi tiga prasyarat, yaitu: pertama, hak untuk didengarkan pendapatnya (right to be heard); kedua, hak untuk dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered); dan ketiga, hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be explained).
Secara normatif partisipasi publik telah diperkuat oleh dalil-dalil yang barusan dituliskan, apalagi jika mengulik hal ini pada tataran yang lebih teoritis, bahwa revisi Undang-undang (TNI) dengan cara diam-diam dan ngebut-ngebutan lebih parah lagi dosa-dosanya. Menurut Jeremi Bentham, hukum seharusnya yang dibuat dengan sifat Bottom-up, atau dari bawa ke atas, dalam artian undang-undang haruslah berkekuatan dari posisi kehendak masyarakat, dan bukan bersifat top-down atau dari atas ke bawah, yang cenderung sentralistik dan totaliter ( Zainal Arifin Mochtar dan Eddy O.S Hiariej Dasar-Dasar Ilmu Hukum : memahami kaidah, teori, asas dan filsafat hukum).
Jurgen Haberms pun demikan, dalam hal Demokrasi Deliberatif dalam upaya mencapai konsensus objektif bebas dominasi, dikutip dalam buku yang ditulis oleh (F. Budi Hardiman, tentang Demokrasi Deliberatif: Menimbang ‘Negara Hukum’ dan ‘Ruang Publik’ dalam teori Diskursus Jurgen Habermas) bahwa setiap norma yang sahih kiranya akan mendapat persetujuan semua orang yang bersangkutan dengannya, seandainya orang-orang ini dapat diikutsertakan di dalam sebuah diskurus praktis. Lebih jauh lagi habermas mengatakan bahwa keberadaan hukum yang dipatuhi oleh warga negara seharusnya dapat diterima secara intersubjektif. Menurut pemahaman budi Hardiman, Habermas memahami lembaga legislatif, eksekitif dan yudikatif sebagai institusi dalam bentuk penalaran komunikasi politis. Sehingga dalam konteks teori diskursus Habermas mencoba memperluas logika pembagian kekuasaan sampai ke batas- batas terluar dari masyarakat, bahwa penalaran politis tidak selalu menjadi urusan para pejabat, melainkan urusan para warga negara, hal ini difungsikan untuk mendelegasikan hak- hak partisipasi.
Pada akhirnya kita bisa melihat penyimpangan-penyipangan proses revisi undang-undang TNI telah mengalami kecacatan Formil dalam proses pembentukannya. Untuk itu jika Pemerintah dan DPR getol dan ugal-ugalan dalam proses pembentukannya maka jalan terakhirnya adalah upaya jalur konstitusionalisasi, di Mahkamah Konstitusi, seperi apa yang terjadi pada Undang-undang cipta kerja yang di putus inkonstitusional bersyarat, yang timbul dari beberapa akibat. Salah satunya adalah pengabaian kehendak publik dalam pemebntukan undang-undang. Upaya ini adalah jalur akhir. Pun kalau Presiden dengan kehendak subjektifnya tidak mengeluarkan Peraturan pemerintah pengganti undang-undang seperti kasus UU cipta kerja saat kemarin. Tentunya akan lebih besar lagi dosa-dosa legislasi di Indonesia.
Kira-kira itu saja dalil-dalil yang memberatkan neraca (timbangan) ke bagian dosa-dosa yang diperbuat DPR dan pemerintah selama ada di ruangan ber-Ac. Diharapkan pembusukan demokrasi ini, menjadi dosa jariyah bagi mereka. Terakhir sebagai harapan mari kita bimbing pemerintah dengan wakil kita lewat kesadaran warga negara, dengan lebih kritis dalam memahami kebijakan para tiran.
Penulis: Rahmat Mokodompit (Pemerhati Hukum dari Universitas Negeri Gorontalo)
Editor: Moh. Rifaldi Hapili