Refleksi Kampus dalam Pandangan Si Paling Milenial

Refleksi Kampus

Siapa saja bisa merefleksikan apa saja. Termasuk refleksi kampus dalam pandangan ”Si Paling Milenial”. Biar tidak to the point, saya perlu mengantar tulisan ini biar makin fell vibes buat kaula milenial. Artikel ini sengaja ditulis dengan bahasa ala milenial, walaupun sedang diusahakan. Kenapa sedang diusahakan? Karena circle saya menganggap saya bapak-bapak, yang kaku, dan suka garing kalau buat jokes. Tapi saya coba dulu, ini adalah tantangan yang saya buat sendiri, tentu untuk diri saya sendiri.

Sesuai dengan disclaimer sebelumnya, bahwa artikel ini subjektif. Jadi tolong buat para netizen yang maha perkasa, jangan viralin saya, apalagi bagi circle pertamanan saya di kampus yang sempat membaca artikel ini. Saya mau memohon maaf terlebih dahulu, hehe. Saya tidak bermaksud menyinggung golongan tertentu, apalagi netizen milenial. Tapi, jujurly dalam artikel ini akan banyak membahas tentang anak muda a.k.a milenial.

Sejarah Si Milenial Masuk Kampus

Jujur saja, saya mau mengakui bahwa saya adalah bagian milenial itu sendiri. Oleh karena itu, bicara soal milenial yang masuk kampus, mungkin ada kaitannya dengan beberapa pengalaman saya. Saya sendiri masuk di dunia kampus lewat jalur SBMPTN. Sempat sih mencoba jalur SNMPTN, tapi ketetapan Tuhan tidak searah dengan keinginan saya waktu itu.

Beberapa milenial di belahan bumi lain Indonesia mungkin ada yang memang sudah menyusun life planing, termasuk persoalan kuliah. Tapi, tidak menutup kemungkinan, ada juga yang mengikuti alur akibat arus pengaruh circle pertemanan. Misalnya saja, ada empat orang dalam satu circle berencana masuk di perguruan tinggi yang sama, dan mendaftarlah mereka pada program studi. Tapi satu di antara mereka bingung mau ambil jurusan apa, sebagai bagian circle yang baik, tiga teman lainnya berusaha membantu dengan ajakan untuk bergabung di program studi yang mereka pilih. Dan terpengaruhlah si Bingung ini, tanpa berpikir panjang apakah program studi itu sudah relevan dengan kehidupan, atau keinginannya.

Masih melanjutkan ‘permisalan’ yang sebelumnya, si Bingung tadi ini lulus. Dan mulai mengikuti tahap demi tahap masuk perguruan tinggi. Tibalah momen MOMB (Masa orentasi mahasiswa baru), dan senior pun bertanya, ”siapa di sini yang merasa salah jurusan?” Dalam hati si Bingung ini sambat bahwa dia salah jurusan, tapi tidak berani angkat tangan, biasalah. Tentu saja si Bingung merasa salah jurusan, karena merasa asing. Tidak ada circle lama, semua orang-orang baru yang mungkin saja ada si ‘Bingung-Bingung’ yang lain saat itu.

Di awal sejarah masuk kampus, mungkin sebagian kaum milenial ada yang berusaha mencari atau menciptakan circle yang baru, sebagian lain berusaha untuk tetap menjadi diri yang lama, yang introvert, dan tidak mau terbuka selebar-lebarnya dengan orang lain. Yang proaktif mencari circle baru, mereka berhasil membentuk circlenya, walaupun beranggapan ini circle yang fake (misalnya). Sementara yang introvert tadi, berhasil menemukan teman baru, walaupun lewat kerja kelompok tugas, dan tetap saja mereka sama-sama introvert. Atau bahkan belum menemukan teman baru sama sekali.

Lucu sebenarnya menjalani peran sebagai milenial, tapi apa salahnya berusaha untuk menjadi manusia. Teori lama sih bilang kalau manusia itu adalah mahluk sosial, dan butuh satu sama lain. Dan teori ini dijalankan dengan baik oleh milenial entah saat masuk di dunia kampus atau tidak, walaupun dibumbui dengan persepsi circle yang fakelah, dan atau yang toxic. Pada akhirnya circle yang langgeng adalah mereka yang sejak semester satu bersatu hingga semester sekarang bertahan, walaupun sudah melalui beberapa kali hukum alam, ada yang menghilang, dan penuh drama, hingga marah sesama.

Milenial yang Keasikan Menjadi Mahasiswa

Perjalanan menjadi mahasiswa, mengantar si milenial berganti-ganti semester. Bahkan ada yang sudah di semester akhir dan masih tetap di semester akhir juga. Yah, secara umum orang-orang tau kalau sistem kampus sama sekolah beda. Jika kamu error beberapa mata kuliah di semester satu, kamu tetap akan berpindah di semester dua, dan tentu saja yang error wajib di kontrak di semester berikutnya. Sementara di sekolah, kalau kamu banyak error, kamu tetap di kelas itu dan tidak akan naik kelas. Begitulah kira-kira perbedaannya.

Ngomong-ngomong soal mata kuliah yang error, biasanya senior yang mengontrak mata kuliah di bawah akan mendapatkan service paling serius di kelas, hehe. Ada special treatment dari adik-adik junior, misalnya pagi pukul 07.00 wib notif whatsapp masuk. Si adik junior dengan ‘senang hati’ memberi remainder perkuliahan untuk hari itu, kira kira begini:

”Assalamualaikum, kak. Saya keting kelas X mau menyampaikan bahwa dosen A akan masuk di mata kuliah Statistika hari ini, jam 7:30 wib. Jangan lupa hadir ya kak”

Sebagai milenial yang menjalani peran dengan baik dan sungguh-sungguh, si senior tadi masih rebahan di kamar kos sambil buka whatsapp yang isi pesannya seperti itu. Maksud hati, si senior berharap itu notif kuliah yang batal, eh ternyata dugaannya malah fatal.

Kira-kira kamu pernah pada situasi senior tadi? Jawab dalam hati, ya.

Menjadi milenial yang keasikan menjalani peran mahasiswa, kamu mungkin asik berorganisasi. Milenial lain ada juga yang sibuk berkolaborasi, dalam penelitian dosen misalnya. Dan tidak menutup kemungkinan ada juga yang masih sibuk berhibernasi di kos, hehe.

Mahasiswa yang sibuk berorganisasi, kadang tergabung dalam lebih dari satu hingga lebih organisasi dan aktif di dalamnya. Mahasiswa milenial seperti ini, keren menurut saya. Lebih keren lagi kalau punya skill manajemen waktu yang baik, jadi bisa balance di antara perkuliahan dan organisasi. Kalau terlalu sibuk sama organisasi, bisanya namanya akan di ganti ”si paling organisasi”

Beda halnya dengan orang yang paling aktif di kelas, paling suka ada tugas, paling suka dosen masuk, dan kalau saja kampus punya sistem juara kelas, beliau ini juara satu, kalau perlu juara umum. Nah, mahasiswa milenial yang seperti ini sangat langka, dia akan menjadi anak emas. Tapi teman-teman lain suka memanggilnya ”si paling ambis”

Banyak karakter unik milenial saat di kampus, belum lagi bicara soal si milenial yang suka minta jajan lebih dengan modus beli buku. Ini sih, mahasiswa klasik banget tapi masih ada sampai sekarang. Kira-kira kapan ya jadi fosil? hehe. Tapi it’s okay, itu kehidupannya. Saya tidak punya kendali atas itu.

Ada juga mahasiswa milenial yang suka gabut. Dengar tempat baru, langsung buru-buru, katanya sih hangout, tapi kurang sadar pas saat kerja tugas malah burnout.

Karakter lain yang hampir lupa adalah ”si paling bucin” Karakter satu ini cukup bahagia sekaligus cukup menderita selama di dunia kampus. Mereka punya stok bahagia yang cukup, apalagi pas sama pasangan mereka, trus dilihat oleh masyarakat kampus jomlo. Si paling bucin merasa orang paling hebat saat itu. Tapi tidak, saat berperan jadi budak. Namanya juga bucin a.k.a budak cinta, bisa saja jadi pesuruh. Pasti takut kalau doi ngambek, atau tiba-tiba minta putus. Jadi, apa-apa harus buat si doi nyaman dan terus bersama.

Selain si paling bucin, satu lagi karakter mahasiswa milenial yang cukup membumi. ”Si paling playboy”, mereka yang merasa paling cakep dan paling jago mengoleksi cewek. Saat nongkrong, biasanya bahasannya kalau bukan cewek, yah, yang ‘lainlah’. Selain ”si paling bucin”, kaum mereka juga sering disebut-sebut buaya, termasuk buaya jantan maupun buaya betina.

Dari karakter-karakter ini, mahasiswa milenial terlalu keasikan dan tidak sadar bahwa dia sudah di semester akhir.

Si Paling Skripsi

Dari masa keasikan menjadi mahasiswa, ada yang mulai punya keinginan untuk segera mengakhiri status mahasiswa. Karakter-karakter sebelumnya ada yang mulai menghilang, walaupun ada juga yang tetap sama, suka rebahan contohnya. Zaman skripsi katanya adalah zaman paling mengerikan. Konsultasi judul saja, vibesnya hampir sama dengan sidang terbuka promosi doktor. Makanya banyak yang suka ragu pas di depan pintu ruangan dosen. Akhirnya ke tempat nongkrong, balik ke rumah, atau paling milenialnya adalah healing ke tempat-tempat estetik.

Masa-masa keemasan konsultasi judul saja mengerikan, apalagi pada saat mulai bimbingan. Paling ngeri adalah saat mengoleksi kritikan dan saran dari penguji di balik meja hijau persidangan proposal. Masalah yang ditemukan oleh ”si paling skripsi” sangat beragam dan kompleks. Beberapa mamahasiswa akhir juga suka mengoleksi judul penelitian. Bahkan ada yang sudah menyusun proposal kuantitatif, tiba-tiba harus dengan senang hati kembali ke kualitatif. Semua perencaanan harus mulai lagi dengan yang baru.

Ada juga yang mengganti judul penelitian, tidak sekali, tapi berkali-kali. Kalau orang stoic pasti aman-aman saja, mereka akan berpikir bahwa keadaan itu sebagai caranya untuk terlatih di bawah tekanan. Selain itu, orang stoic akan beranggapan bahwa mereka tidak bisa mengendalikan penguji atau pembimbing. Apa yang pembimbing atau penguji sarankan, itulah murni dari mereka, dan sebagai orang stoic, akan aman-aman saja dengan itu.

Olehnya, saat menjalani proses skripsi, kamu bisa menerapkan filosofi teras atau filosofi stoicism. Biar kamu bisa mengontrol emosi, dan tidak makin stres. Sebagai rekomendasi, kamu bisa baca buku karya Henry Manampiring, Filosofi Teras.

Zaman skripsi akan mempertemukan orang-orang yang punya penderitaan yang sama. Lihat saja senior-seniormu yang ramai-ramai datang ke kampus. Kadang mereka membahas tentang masa depan mereka, bicara soal judul penelitian mereka, termasuk bicara soal penguji dan pembimbing mereka, dan dikit-dikit bicara tentang orang lain (yang memotivasi mereka misalnya). Tapi itu bagus, sih. Karena dengan kesamaan itu, mereka masih punya alasan untuk berkumpul, dan ujung-ujungnya healing, deh.

Sama halnya dengan poin ‘keasikan menjadi mahasiswa’, karakter-karakter tadi masih bisa ditemukan pada mahasiswa si paling skripsi. Bahkan ada yang memilih berjalan dengan berhati-hati, diam saja menunggu panggilan dosen misalnya, syukur-syukur bukan panggilan DO (drop out).

Dan akhirnya, tidak ada yang salah untuk menjadi mahasiswa milenial, saya pun termasuk milenial. Tidak ada juga yang salah untuk memilih karakter yang mana di antara yang tadi, karena kita memang milenial. Tapi yang pasti adalah semua orang ingin kebaikan, tentu berusaha menjadi yang terbaik itu sangat normal. Dan berlomba-lomba dalam kebaikan itu sungguh normal.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Bergabung di Buletin Growthney dan dapatkan email pemberitahuan dari kami!

We promise we’ll never spam! Take a look at our Privacy Policy for more info.

5 Essai Pilihan

Section Title

⚡Terpopuler Pekan Ini