Kerja dan Cerita-Cerita Serunya

kerja dan cerita serunya

Katanya setelah lulus sekolah atau lulus sarjana, kehidupan selanjutnya adalah bekerja. Dalam kehidupan dewasa, bekerja seolah menjadi langkah awal yang harus diambil untuk bertahan hidup. Kalimat “hidup untuk menghidupi” merambat pada semua gender, bagi lelaki mungkin wajib lebih dari satu. Bagi beberapa wanita, setidaknya cukup untuk diri sendiri. Dan yang beruntung, bertahan lewat mengandalkan.

Tapi tak semua orang punya atau bahkan sengaja melewatkan kesempatan untuk bekerja. Sebelum lanjut, tulisan ini akan memberikan pengalaman banding, untuk mereka yang merasa terhakimi, dengan kerasnya dunia kerja. Selamat, jika Anda merasa tidak.

Berangkat dari lingkungan sekitar, beberapa keluh terdengar naif di telinga “Susah dapat kerja”. Mungkin iya, mungkin juga tidak. Menurutku, tidak sesusah itu. Yang terasa susah ketika kamu banyak memilih. “Ah, saya tidak cocok kerja di bagian ini”, atau “Pekerjaannya tidak sesuai dengan bakat yang saya miliki,” bahkan “Terlalu jomplang dengan gelar,” dan alasan-alasan Iainnya. Alasan yang dulu juga pernah beberapa kali keluar dari mulut saya sendiri.

Sebagian besar tulisan ini hanya akan berisi pengalaman pribadi sang penulis. Data, fakta, penelitian, kalimat-kalimat yang berat untuk dicerna, kita singkirkan dulu. Mari kita mulai!

Di tahun 2019, kali pertama saya bekerja setelah lulus sekolah. Harusnya saat itu sedang kuliah, kendala biaya, harus cuti kuliah. Fyuh, baru juga masuk semester dua, saat api semangat masih menyala malah tertiup oleh kendala biaya. Sedikit depresi, tidak mengisi kuota selama sebulan. Memutuskan meratakan hidup sambil mengutuk nasib. Sialnya, hidup tidak akan memaklumi apalagi berhenti sejenak hanya untuk menunggumu siap.

Mulai mencari kerja, dan diterima menjadi kasir. Selayaknya pemula, kita akan menemui banyak kesalahan sebelum akhirnya mendekati ahli. Kecepatan menghitung uang, ketelitian, cara merapihkan uang. Semua itu adalah ilmu yang tak akan Anda dapat menghabiskan 3 tahun di sekolah dengan mengambil jurusan akuntansi. Karena teori butuh praktik.

Tiga bulan kerja, memutuskan untuk melanjutkan kuliah. Pontang-panting berusaha meraih gelar, maşuk semester 5, roda kehidupan rupanya bergulir semakin jauh ke bawah. Hendak cuti lagi, tapi terlampau putus asa hingga akhirnya memutuskan berhenti. Setiap hari memaki takdir. Dari abon berganti mie instan, siang telur, malam mie gelas, hingga harus tinggal di asrama dengan biaya Rp50.000 perbulan ternyata belum bisa membantu akhir nama punya tambahan huruf S.

Kecewa, takut, marah, malu, perasaan gagal, membawa saya menjauh sejenak dari kota ini. Ajakan bekerja dari lisan seseorang, membantu sang istri membuat kue katanya. Oke, kita coba. Ponsel rusak dan hanya punya cukup uang untuk makan di perjalanan. Katanya, ke Palu saja, biaya mobil akan kami bayar di sini. Bermodal nekad tanpa membawa ponsel, tiba di tempat tujuan. Rutinitas untuk bangun salat subuh, membersihkan rumah, menuju pasar, masak, sarapan, lanjut bergelut dengan aneka adonan. Membuat roti, kue kering, kue basah, bahkan puding dan sekawannya berjalan hampir 5 bulan. Belajar, tidak mahir, tapi bisa. Lalu memutuskan untuk berhenti. Setidaknya punya catatan resep dan juga sedikit ingatan untuk membuat kue-kue yang kata pemiliknya dia perlu les dan mengeluarkan biaya untuk menguasainya.

Saya lalu sadar, bahwa berlari dari Luka tidak menjamin menuju sembuh. Mungkin bagimu ini berlebihan, tapi bagiku putus kuliah ternyata lebih menyakitkan dibandingkan terlibat drama percintaan. Terima, ditangani., dan kembali ke Kota Gorontalo, menghubungi kawan-kawan yang tersisa, minta bantuan untuk mencari pekerjaan Iowongan. Coba di toko hijab dan gamis, nihil. Coba di konter seluler, nihil. Coba di kedua minuman perbobaan, wawancara, diterima. Dua tahun, mencari aman meşki tak nyaman. Merasa terlalu kecil untuk mengambil langkah besar.

Hanya punya ijazah SMA, mau mengharap apa? Pikiran yang dibalut rasa insecure dan takut, yang mungkin sempat atau masih Anda miliki sampai sekarang. Tapi kalau mau, setidaknya saat itu saya tetap memilih bekerja bukan menghabiskan waktu hanya dengan mengeluh tapi minim usaha. Pelan-pelan membangun rasa percaya diri, mengurus berkas-berkas yang menjadi persyaratan umum setiap pencari kerja. Sendiri mengurus SKCK dan surat keterangan sehat, karena sadar diri sendiri harus bisa diandalkan. Merasa siap, dikabarkan rekan kerja bahwa salah satu toko bangunan sedang mencari SPG. Muka yang sering dikatakan datar oleh orang sekitar sempat membuat niat maju mundur. Yah sudah, coba saja dulu.

Memasukkan berkas. Bukan hanya di situ, Miniso, DIY, 3 Second, PNM, Alfamart, Indomaret juga dicoba. Yang memberikan sedikit cahaya hanya pada toko bangunan. Mencuri waktu di sela-sela pekerjaan untuk wawancara dipekerjaan selanjutnya, kurang baik tapi wajib dicontoh. Karena orang-orang seperti saya harus bertaruh hanya pada hal yang menguntungkan, terlalu buruk jika mengambil langkah yang berisiko besar. Contohnya resign tanpa punya kerjaan cadangan. Wawancara tahap pertama, tahap kedua, tahap ketiga. “Kalau diterima, siap pelatihan di Bekasi? Biaya transportasi, makan dan tinggal selama seminggu akan ditanggung perusahaan.” Hingga merasa takut, berhasil dilawan. Kalau berakhir buruk, ya sudah. Kalau baik-baik saja, disyukuri.

Kalau kata bapak Perdana Manteri Indonesia pertama, “Hidup yang tidak dipertaruhkan tidak akan pernah dimenangkan”. Itung-itung bisa merasakan naik pesawat dan melihat kota besar. Tapi sambil berdoa, “Ya Tuhan jika ini buruk, setidaknya tidak sampai pada tahap dijual ke om-om. Hahaha” . Ternyata di pelatihan untuk menjadi SPG, belajar lagi perihal peralatan kamar mandi dan dapur. Closet duduk, shower, stop keran, keran panas dingin, kitchen sink dan sejenisnya. Ah, satu lagi, belajar soal poles memoles wajah. Sepertinya itu juga bagian wajib dari menjadi sales. Sekolah kejuruan, 3 tahun belajar akuntansi, kuliah di jurusan pendidikan ekonomi (walau tak tuntas) dan sekarang malah bergulat dengan closet duduk canggih dengan harga yang cukup besar, apakah berkaitan?

Jika cita-citaku selama ini dianalogikan menjadi papan sasaran anak panah, dan aku anak panahnya, maka anak panah yang dilepas terlalu jauh dari sasaran yang seharusnya. Namun, kita bukan poros dunia. Dunia tak menyediakan apa yang selalu kita mau. Beberapa hanya ingin menjelma menjadi angin, wush. Hilang.

Dilahap kenyataan, ditumbangkan keadaan

Beberapa bulan kerja, dua rekan kerja ternyata berasal dari toko buku, salah satu tempat kerja impian sejak sekolah. Dengar kabar buka lowongan, berbekal doa ibu dan bantuan dari mereka, akhirnya diterima. Kembali mendekati apa yang sampai dicita-citakan terlebih dahulu. Tidak terlalu tepat, setidaknya mendekati. Bukan bergulat dengan buku-buku, tapi menjadi sales produk IT. Kembali menjadi pemula, yang belajar lagi dan harus cepat beradaptasi. Dari penjelasan closet pindah lagi menjelaskan printer dan kawanannya ke pembeli.

Setelah semua itu, jika benar reuni adalah ajang pamer, maka belum ada pencapaian besar yang bisa saya pamerkan. Tapi setidaknya apa yang sedang saya jalani sekarang adalah hal yang sudah cukup saya syukuri. Berhasil bertahan hidup dengan segala lika-likunya dan tidak membebani ibu secara berlebihan juga bagian dari pencapaian. Persetan punya tabungan di usia 20 tahun, punya usaha diusia 23 tahun, punya rumah dan kendaraan impian di usia 25 tahun. Perjalanan hidup setiap individu terlalu mustahil untuk disamaratakan.

Setelah semua jenis pekerjaan dan lika-likunya hidup, percayalah sia-sia hanyalah prasangka. Selalu terselip pelajaran yang hanya bisa dimaknai setelah berhasil dilalui. Meminjam kalimat Gold D Roger, “Setiap orang mempunyai giliran masing-masing. Jadi tunggulah giliranmu”.

Tapi tunggu-menunggu, jangan lupa usaha. Jika ada kesempatan, ayo dicoba. Tepis dulu alasan-alasan yang mengkerdilkan diri sendiri, “saya tidak tahu,” “saya bukan ahli,” dan lain-lain. Perlu kau yakini, yang sekarang terlihat ahli, dulu juga pemula. Yang sekarang terlihat luar biasa, dulu hanya biasa saja. Yang sekarang bos, dulunya juga karyawan. Yang sekarang punya jabatan, dulu mungkin hanya bawahan.

Jadi, buat teman-teman yang masih terlalu pemilih dalam pekerjaan, saranku selagi itu halal, coba saja dulu. Kita tidak pernah tahu pekerjaan mana yang membawa kita menuju hidup yang kita syukuri. Kita kurangi angka kemiskinan hanya karena pilih-pilih pekerjaan demi mempertahankan gengsi.

Sekali lagi kawan, waktu tidak akan berhenti dan dunia tidak akan menunggu hanya karena kau belum siap. Siapakah kita yang merasa berhak mengatur takdir Tuhan? caci maki, tangis, kutukan dan segala sumpah serapahmu, tak akan membuat dunia berbelas kasih. Yang ditakdirkan terjadi, tetap akan terjadi.

Penutup sekaligus penandatanganan, mau berterima kasih kepada pembuat kalimat berikut, “Jika sesuatu tidak berjalan sesuai dengan apa yang kita mau, berarti kita sedang menjalankan apa yang Tuhan mau.” Tepuk pundak, dan semangat.

 

Penulis: Srinadiva (penulis lepas)

Redaktur : Moh. Rifaldi Hapili

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Bergabung di Buletin Growthney dan dapatkan email pemberitahuan dari kami!

We promise we’ll never spam! Take a look at our Privacy Policy for more info.

5 Essai Pilihan

Section Title

⚡Terpopuler Pekan Ini