Tak seperti biasanya. Kali ini laju motor berada dibawah rata-rata. Penampilan kosong lebih mendominasi. Sambil sesekali terhentak, karena harus memikirkan kepastian: kemana motor ini akan diparkir, dan dimana tempat ternyaman untuk sekedar membaca pemahaman kalimat-kalimat indah, dari penulis favorit. Kalimat indah itu, biasanya berisi dalam bait-bait buku minimalis, yang pemahamannya cukup dibawa kemana-mana, untuk sekedar mengisi waktu lowong sambil menunggu kopi yang telah dipesan, habis dan terurai dalam mulut dan lambung yang kuat.
Sangat mudah menemukan kehadiran pemuda di ruang-ruang seperti ini. Mereka membicarakan banyak hal. Pun nada bicaranya berubah-ubah, dari ucapan yang santai, tegas berisi hingga perenungan, didetik-detik berakhirnya waktu nongkrong. Kondisi ini juga terjadi di tempat-tempat percakapan yang diisi oleh pemuda dari kalangan Gen Z dan sebagian milenial. Namun, tidak seperti para pendahulunya. Pembicaraan kalangan pemuda saat ini, lebih kepada hal-hal lucu dan menyenangkan: sebuah pembicaraan yang tidak memerlukan persiapan yang banyak. Cukup bersiap mendengar dan menanggapi dengan santai, dan nyeleneh, dan tak lupa memasang gaya bicara yang lembut . Padahal, di pusat kekuasaan pemerintah, sudah ada seseorang (yang dianggap) anak muda, yang membahas seputar kebangsaan dan masalah-masalah sosial yang kompleks. Itu banar. Itu adalah Gibran Rakabuming Raka, anak dari Presiden ke 7. Seseorang yang diwacanakan, sama seperti sosok Sjahrir. Seorang takoh Pemuda di awal masa kemerdekaan, yang juga sering nongkrong, dan membicarakan persoalan kebangsaan, hingga berhadap-hadapan dengan Bung Karno, bahkan berani melakukan kudeta, hingga pemerintahan dianggap tak mampu memenuhi hajat hidup orang banyak. Sejauh membaca penulis, Sjahrir tentu jauh dari gaya Soft Spoken yang melanda kalangan pemuda saat ini.
Melihat para soft spoken
Sejauh membaca penulis, seseorang yang dianggap berbicara lembut, adalah mereka yang memiliki gaya komunikasi yang cenderung pasif dan tidak mendominasi pembicaraan. Seorang yang bertutur kata lembut, lebih memilih untuk banyak diam, dan memperhatikan dengan tenang, apa yang menjadi pembicaraan kawan-kawan nongkrongnya. Ia akan menyampaikan ulasan dengan nada bicara yang rendah, disertai pemilihan kata yang penuh kehati-hatian. Seakan begitu menjaga, agar apa yang dibahasakannya tidak mengganggu, apalagi menjadi sorotan. Terlebih lagi, ucapan lembut tak bisa menjamin apa yang dibahasakan itu, sebagai sebuah kepastian. Karena bisa kapan saja berubah, sesuai dengan kondisi dan situasi lingkungan, tempat ia berada. Tentu ini sangat diplomatis.
Lembut yang diucapkan adalah karakter dari seseorang, khususnya saat berkomunikasi dengan orang lain. Ia cocok menjadi teman untuk mengungkapkan isi hati dan pengalaman, untuk seseorang yang sekadar ingin didengarkan. Bukan untuk dinasehati. Karena nasehat adalah kumpulan diksi yang menyerang situasi ekologis seseorang, yang dianggap sebagai pemicu munculnya pengalaman diri yang buruk, dan menariknya ke tempat yang dianggap lebih baik dalam menerima kondisi dirinya. Jelas, situasi ini akan sulit diberikan oleh seorang yang bertutur kata lembut, yang nada bicaranya lembut dan penuh kehati-hatian agar tidak berkonflik dengan teman bicaranya.
Penulis melihat, ucapan lembut bukan sekadar gaya bicara yang penuh kehati-hatian, lembut dan cenderung menjaga perasaan lawan bicara. Bertutur lembut lebih dari itu. Ia adalah situasi psikologis seseorang yang tumbuh dari pengalaman sosial, yang terbentuk dari hubungan kekuasaan yang tidak memungkinkan seseorang untuk sekedar membayangkan hidup yang aman.
Menghancurkan pemuda kita
Bagi penulis, ucapan lembut bukan sekadar gaya seseorang dalam berbicara. Sebagai pemuda, penulis melihat tuturan lembut merupakan situasi destruktif, yang mendasari sejarah dan wacana pemuda, serta kondisi psikologisnya. Pemuda yang hidup dalam usia produktif untuk berpendidikan dan menyelami pengalaman sosial, seharusnya mampu memberikan pandangan dan pergerakan progresif dalam menyikapi sebuah kenyataan. Alih-alih mengisyaratkan lembut, kompromistis dan diplomatif dalam melihat kenyataan, pemuda lebih sering terlihat berwibawa dengan sikapnya yang gigih dalam mengusahakan pilihan dan visi hidupnya. Kenyataannya, mudah kita temui dalam lanskap sejarah bangsa-bangsa besar. Situasi ini digambarkan oleh seorang pedangdut terkemuka, Rhoma Irama, sebagai darah muda: darah yang mengalir dalam diri seorang yang berani, berusaha dan berjuang terhadap sikap dan pilihannya. Situasi inilah, yang penulis rasa, membuat seseorang pemuda, selalu diperhitungkan, khususnya dalam merancang agenda perubahan.
Penghancuran pemuda sebagai bagian penting dalam pergerakan nasional, rasa-rasanya muncul akibat wacana yang dimainkan kekuasaan. Alhasil, penulis melihat gaya lisan lembut yang bermunculan di kalangan pemuda saat ini, adalah sesuatu yang dikonstruksi oleh perilaku negara, sehingga seolah-olah tak ada pilihan lain, selain menjadi lisan lembut. Kondisi dimana pemuda tak mampu menyatakan sikap, bahkan sekedar kepastian untuk hidup yang aman bersama pasangannya.
Seorang sosiolog post modern, Michael Faucalt telah menegaskan hal ini dalam situasi masyarakat yang dikendalikan melalui pengetahuan, yang bukan sekedar memberitahu. Namun juga mengontrol kehidupan masyarakat sipil dalam berbagai hal. Salah satunya, dalam pergerakan melawan tirani status quo , yang sering dilakukan oleh pemuda dalam sejarahnya.
Wacana kekuasaan hari ini, cenderung menekankan kepada pemuda, untuk tidak ada pilihan lain selain ucapan lembut: berbicara rendah, bernada lembut, dan tidak mudah membahas hal-hal besar, yang berpotensi menimbulkan konflik. Padahal, konflik adalah hal yang paling sering muncul di kalangan pemuda, sebagai bagian dari upaya mencari titik terang dari sebuah perencanaan masa depan yang adil dan lebih baik. Alih-alih berani berpendapat, gigih dengan sudut pandang, dan menghadapi konflik dengan beradu argumentasi, seseorang yang bertutur kata lembut akan lebih kopromistis dan memilih mengalah, untuk menjaga situasi sedang baik-baik saja. Sungguh, ini agar terhindar dari konflik, dan tidak mengusik status quo .
Situasi yang dikonstruksi negara
Dalam pandangan sosialisme (Baca: Marx), negara berperan besar dalam mengkonstruksi pandangan masyarakatnya. Konstruksi ini bertujuan untuk mengendalikan kehidupan masyarakat, agar terus bersepakat dan melanggengkan pola kekuasaan, meskipun sering merugikan bahkan merampas hak masyarakat sipil. Bahkan bagi Gramsci, ada hegemoni yang dilakukan oleh pemerintah, untuk membuat masyarakat sipil yang menjadi korban dari kegagalan rezim beserta kebijakannya, memiliki pemikiran magis: bahwa pemerintah telah melakukan yang terbaik, bahwa keburukan terjadi karena ulah masyarakat itu sendiri, bahwa kerusakan terjadi karena takdir dari tuhan.
Sama halnya dengan situasi yang dirasakan oleh pemuda saat ini. Jangankan untuk berpikir melakukan perubahan besar, mengendalikan kekuasaan, dan membantu mendorong kesejahteraan nasional. Sekedar berpikir untuk hidup yang aman dan memiliki kepastian saja, seolah-olah pemuda tak mampu berbicara banyak. Hukum yang dirusak demi menjaga penguasaan kepentingan, korupsi kolusi dan nepotisme yang begitu tertampang jelas, hingga kampus yang digembosi oleh politikus demi label kecerdasan, menjadi fakta yang terlihat jelas oleh kita akhir-akhir ini. Korupsi yang merajalela dengan angka yang sangat fantastis, terus terjadi di tengah situasi pemuda kita, yang bahkan hingga menembus pendapatan dua digit saja, harus membanting tulang begitu keras. Gelombang PHK juga kini terus meningkat, dan memaksa pemuda kita untuk keluar dari pekerjaannya. Serta ribuan pemuda yang baru mau masuk bekerja melalui jalur pegawai negeri sipil (PNS) pun, kini harus gigit jari karena mengikis nasib. Meningkatnya biaya sekolah, ditengah kemiskinan yang tak kunjung bisa diatasi, dan kesejahteraan guru yang tak kunjung terjadi, adalah kenyataan yang sering kita lihat. Dan anehnya, semua ini terjadi disaat pemerintah sibuk mengangkat staf khusus dan pegawai yang merupakan orang-orang terdekat dan kader partai politik, dengan gaji yang fantastis.
Terlebih lagi, dalam masyarakat patriarki, kondisi ini sangat merugikan para lelaki. Menjadi lembut diucapkan, saya kira menjadi salah satu pilihan yang mampu, di tengah tanggung jawab yang begitu besar, yang dibebankan kepada seorang lelaki. Menjadi pemimpin, dan tulang punggung keluarga, yang harus dapat menjamin keamanan dan kesejahteraan keluarganya. Apalagi untuk meminang pujaan hati saja, seorang pemuda harus berani berhadapan dengan konstruksi sosial dan bersumber dari budaya patriarkis, trend media sosial, serta anga-angka mahar yang fantastis, yang bahkan selama hidupnya, mungkin belum pernah mencapai angka sebanyak itu. Ini tentu memberikan Gambaran, bahwa untuk sekadar melakukan revolusi paling dasar, dengan membentuk keluarga yang nyaman dan aman saja, lelaki harus mempersiapkan banyak hal. Situasi ini, tentu harus diusahakan tanpa kekuatan super power, dan mental yang tidak boleh keropos, sebagaimana seseorang yang digambarkan sebagai “maskulin”.
Situasi inilah yang sedang dirasakan oleh pemuda kita hari ini. Dengan situasi seperti itu, kita pemuda mau apa? jika kita belajar dan mencari tau, kita akan semakin geram, marah dan sakit hati sendiri, karena semakin hari, semakin tau kerusakan yang terjadi. Pun jika kita ingin bergerak mengubahnya, akan sangat sulit dan melelahkan. Meski hidup di negara demokrasi, namun pola kekuasaan yang dibangun dengan mengedepankan militerisme dan aparat keamanan, ditambah dengan serangan buzzer di media sosial, sangat ampuh untuk melakukan kill the messenger . Kondisi ini tentu sangat sulit bahkan menyakitkan bagi kita yang menghadapinya. Apalagi bagi pemuda yang tidak terdidik dengan kultur akar rumput.
Maka, sikap apa yang harus dilakukan pemuda. Hampir tak ada yang pasti bisa dilakukan, selain hanya menyelipkannya dalam pembahasan sederhana di tongkrongan, bersama kawan-kawan, sembali menghardiknya. Selebihnya, tinggal bersenda gurau, berbicara hal-hal lucu dan jauh dari keseriusan, dengan gaya bicara yang lembut. Sebuah jurang keterpaksaan, yang membuat pemuda tidak bisa berbicara besar, tidak bisa bersikap tegas, bahkan tidak bisa memastikan ketidakjelasan tentang kehidupan yang sedang dijalaninya. Kita hanya bisa terus mendengar ocehan orang lain, sambil menanggapinya dengan datar, yang penuh dengan perenungan dan kehati-hatian.
Kondisi negara hari ini seolah tak bisa memberikan kepastian, bahkan untuk sekadar berharap hidup yang tenang dan aman. Semuanya bisa tenang, sampai ada kepentingan “negara” yang masuk dan mengusiknya. Meski banyak yang bilang, bahwa kita tak bisa berharap di negara, namun tentu itu tak bisa dijalankan, ditengah kondisi negara yang terus memunguti pajak hingga ke bagian-bagian kecil yang kita gunakan sehari-hari.
Penulis begitu rindu, bagaimana kondisi pemuda di beberapa momen sebelumnya. Tanpa menggunakan gaya bicara yang lembut, mereka dengan tegas berdiskusi dan berdebat tentang banyak hal. Nada suara yang dinamis, menggambarkan kesungguhan dan keseriusan argumentasi serta sikap yang tengah dilayangkan. Persis seperti Chairul Saleh, Wikana, Sukarni, Sjahrir dan Amir yang mengisi ruang-ruang tongkrongan pemuda Angkatan 45, dengan diskusi-diskusi revolusioner, untuk mendorong keberanian kaum priyayi, dalam mengumandangkan perlawanan terhadap kolonialisme (Baca: Revoloesi Pemoeda).
Penulis merasa, situasi rezim yang militeristik dan potensinya yang besar dalam merampas ruang hidup masyarakat sipil seperti ini, harus menghadapi sikap yang berani, bertindak, dan keras dalam menyampaikan, tentang pemerintah yang tak berhasil menentukan kebijakan yang pro dengan kepentingan masyarakat umum. Keseruan untuk menyatakan ini, harus muncul dalam setiap agenda nongkrong para pemuda. Paling tidak, ada kejelasan pandangan dari para pemuda. Meski begitu, harus banyak merenung, karena diperhadapkan dengan situasi hidup yang penuh dengan kehangatan.
Sayangnya, kondisi itu akan sangat sulit terjadi pada saat-saat seperti ini. Ketidakpastian hidup, sulitnya mendapatkan pekerjaan, ancaman hak asasi manusia, diskriminasi hingga perampasan ruang aman yang terus terjadi, memaksa kita untuk berbicara nada bicara, melembutkan bahasa, dan lebih banyak mendengar dan menguatkan hati, untuk percaya pada pidato-pidato yang keluar dari mulut penguasa yang busuk karena sering membohongi rakyat. Sambil sesekali mengumpat dalam hati. Awas, jangan sampai terdengar, karena bisa memicu konflik, dan kriminalisasi. Sudah paling aman, dan paling baik, diucapkan dengan lembut: siapa tau dengan notifikasi diam, pasif, dan kompromis sambil perlindungan NKRI harga mati, adalah jalan yang mudah, untuk bisa mendapatkan kemudahan hidup di negeri ini.
Jika dulu, ucapan lembut merupakan situasi diri yang muncul akibat determinisme genetik, kini telah menjadi pengalaman psikologis, yang muncul akibat hubungan kekuasaan dan formasi sosial yang mendorong terciptanya manusia ucapan lembut.
Meski begitu, penulis harus jujur: saya ingin menjadi lembut diucapkan dalam hubungan intim.
Tabik.