GROWTHNEY.COM – Memasuki gilingan padi ka Miu, yang ada di desa huntu Selatan, kita akan menemukan sebuah karya intalasi. Karya ini terpampang jelas, dan mudah menarik perhatian pengujung. Tampilannya yang beralaskan pasir, ditindih oleh tumpukan gabah padi, lengkap dengan berbagai bambu tajam yang menusuknya dari segala arah.
Melihat karya yang satu ini, orang akan mudah membayangkan kalau ada yang “berbahaya”. Ada yang tidak mudah disentuh, karena sudah dikelilingi sesuatu yang menghunus tajam. Ini terjadi pada sesuatu yang tidak jauh, atau sulit kita jangkau. Ini terjadi pada “padi”, pangan pokok yang dekat dan kita butuhkan sehari-hari.
Karya ini, diberi judul “Oryzamorgana” milik seniman asal Bali, I Ketut Putrayasa. Kata itu diambil dari “frasa oryza sativa”, nama latin dari padi, dan “morgana” diambil dari kata fatamorgana. Istilah ini menggambarkan sesuatu yang nampak nyata, namun ternyata hanya sebuah ilusi belaka (Baca: Lipunaratif, 2025).
Tentu, seniman asal bali ini, memiliki maksud tersendiri dalam karyanya. Ini tentang imajinasi para petani, yang seringkali terjebak dan pupus, hingga berujung pada ilusi tentang kesejahteraan.

Melihat karya ini, saya membayangkannya dengan mudah, meski sangat pelik. Petani punya apa yang mayoritas orang Indonesia butuhkan. Petani menyediakan untuk kita, apa yang bisa diisi di perut, untuk melanjutkan hidup. Tanpanya, kita sulit bahkan tak bisa melanjutkan hidup. Bayangkan jika mereka, mogok kerja. Pangan kita terancam. Perut kita terus bersuara, dan mendorong akal kita bekerja keras, mendapatkan segala cara, agar kebutuhan ini bisa terpenuhi. Pilihanya antara bisa makan, atau mati terurai dan dilupakan.
Sungguh terbayangkan. Bagaimana pentingnya padi di negeri ini. Sebuah pangan, yang kini dipolitisasi negara, untuk memonopoli kebutuhan pangan masyarakat di seluruh pelosok negeri. Bahkan saat Papua punya sagu sebagai pangan pokok, kini sudah mencari beras karena politisasi itu.
Petani punya sesuatu yang sangat mahal. Ia memberikan kita kehidupan, selayaknya dokter yang memberikan kita kesembuhan. Bahkan lebih mahal dari dokter, yang bisa menyembuhkan, setelah ada penyakit. Lebih jauh dari itu, petani menyediakan apa yang bisa kita pakai untuk bertumbuh dan bertahan dari waktu ke waktu. Tapi kita mudah untuk melihat, betapa sangat berbedanya kehidupan petani dan seorang dokter. Sulit untuk bisa menemukan seorang petani padi yang sejahtera, dari aktivitanya mencangkul dan menyuplai bahan pangan.
Petani punya kejayaan dan kemandirian. Bahkan, petani punya kemapanan. Namun, itu semua tengah dirampas. Kejayaan itu hilang, namun terus terbayang, dalam setiap keringat yang jatuh di tengah proses penggarapan lahan sawah.
Puluhan bambu runcing yang menancap di tumpukan gabah padi, memberikan kita metafora yang mendalam. Petani dan padi yang menjadi simbol kejayaan itu, diburu dan dirampas oleh elit: mereka yang tak memiliki lahan, namun mempunyai kuasa, untuk mengatur regulasi pangan di negara ini, sekaligus memaksa para petani untuk mengikuti sistem itu, atas nama stabilitas nasional, atau atas nama nasionalisme.
Bambu itu menusuk setiap sudut karung yang berisi gabah padi. Ia hanya menyisakan sela-sela kecil, agar padi tetap bertahan. Meski disekitarnya, telah mengalami tikaman yang begitu dalam, dan menyebabkan padi itu terurai dari segala arah.
Mudah untuk membuat rasa perih, sakit dan ancaman kematian, menyelinap di setiap imaji orang yang melihat karya ini. Tusukan dari segala arah, memberikan pesan kepada kita, untuk menyadari, bahwa kita berada dalam ancaman ketahanan pangan yang serius. Ancaman yang membuat, kita semakin sulit mengakses ketahanan pangan yang mudah dan murah. Ketahanan dan kemandirian, yang akan tergantikan dengan gaya konsumtif, yang membutuhkan kemapanan ekonomi, agar bisa membuat ketahanan pangan itu kembali lagi. Sesuatu yang sebelumnya, petani dan warga kecil bisa rasakan dengan mudah.
Ketahanan itu, mulai tergantikan dengan beton, yang didorong oleh industrialisasi, yang ingin merampas segala hal. Kita mulai terbiasa, melihat kawasan pertanian yang digusur dan dirampas, beserta petaninya yang dikriminalisasi. Bahkan, kerja-kerja solidaritas antar warga, untuk saling membantu, dinilai sebagai kejahatan, yang bisa berujung di jeruji besi. Ini nyata, meski tak seharusnya demikian.
Padi ingin direbut, termasuk kejayaan petaninya, beserta rakyat kecil yang hidup disekelilingnya. Karya ini, menjadi Gambaran kepada kita semua, tentang ancaman serius, yang datang dari segala arah: penguasa dan oligarki, serta apparatus ideologinya.
Bambu yang menghunus tajam itu, terkadang tak terlihat nyata, bagi petani yang menghabiskan hidupnya di ladang, dan menikmati hasil bersama keluarga kecilnya. Tapi efeknya, seringkali terasa begitu nyata. Tak heran, jika seorang petani penggarap, tak menginginkan keturunannya merasakan hal itu. Sebuah pekerjaan, yang seharusnya memiliki kejayaan, namun diwarnai ketidak pastian kesejahteraan, kemapanan, dan kapan saja bisa terancam, dan tertusuk dari segala arah.

Terlihat, beberapa warga lokal, yang juga petani, sedang memperhatikan karya itu. mungkin dipikirannya, terlintas tentang kengerian yang dihasilkan oleh tusukan puluhan bambu. Mereka mungkin berpikir, bahwa seharusnya bambu yang menancap itu bisa dihilangkan, agar gabahnya bisa diolah, untuk ketahanan pangan keluarga, beberapa waktu kedepan. Padahal, setiap bambu yang menusuk gabah itu, bisa diartikan sebagai kemelaratan petani, yang menusuk dari segala arah.
Saat membayangkan makna karya instalasi yang satu ini, imaji inilah yang hadir di pikiran saya. Tentu, senimanya punya maksud tersendiri, ketika membuat karya ini. Maksud yang mungkin jauh lebih dalam, dari apa yang saya bayangkan.
Kini, pameran Maa Ledungga ke 4, bertajuk “SUAKA” telah ditutup dengan resmi, setelah 10 hari menjadi ruang perjumpaan yang hangat, bagi setiap warga. Kemungkinan karya ini juga akan segera diakhiri. Namun, penghayatan dan perenungannya akan terus hidup, dalam sanubari warga kecil, yang membayangkan tentang sebuah kehidupan yang lebih baik di masa depan.
Terimakasih Maa Ledungga #4: sebuah persembahan Pameran Pesta Panen Padi Rakyat. Selamat bertemu di tahun yang akan datang.