Beranda » Anak Muda » Tangisan dari Pesisir

Tangisan dari Pesisir

Tangisan dari Pesisir Growthney

(Sumber Gambar: Rise Progamme Indonesia)

“Entah kapan tangisan si miskin terobati, lautan emosi yang keluar dan terus teriring, bagaikan gawai yang punya taring. Dengan gagah berdiri, untuk memperjuangkan NKRI, tapi tidak menuntaskan hal yang di kebiri.”

Saya anak nelayan yang bercita-cita mendapatkan pendidikan 77 tahun NKRI hadir, banyak nasib anak negeri bergantung untuk mengais rezeki tapi apalah daya anak negeri, diperhadapkan dengan banyak hal yang di kebiri.

Dari naiknya harga listrik hingga naiknya harga BBM (Bahan Bakar Minyak) dengan dalih untuk subsidi. Abad ke-20 kemarin mengajarkan anak-anak untuk berpikir kritis, sehingga lahir anak muda yang skeptis. Inilah NKRI-ku dengan banyak soal kritis, yang jawabannya sampai ke titik kronis.

Artikel Terkait: Melihat Kelapa dengan Seutuhnya

Bagaikan tesis yang butuh determinasi, serta penyakit yang butuh terapi. Slogan gotong royong kini telah hilang dan terhuyung, yang membuat anak skeptis kini menangis. Kini telah masuk 4.0 revolusi industri di mana memaksakan semua elemen untuk berafiliasi.

Entah kapan tangisan si miskin terobati, lautan emosi yang keluar dan terus teriring, bagaikan gawai yang punya taring. Dengan gagah berdiri, untuk memperjuangkan NKRI, tapi tidak menuntaskan hal yang di kebiri.

Di abad ini, semua mencari eksistensi demi mendapatkan semua simpati maka semua itu harus diganti sampai ke ujung kaki, agar terlihat rapi masyarakat pesisir hari ini sudah begitu fasih menirukan gaya sang pemberi janji dari membangun ekonomi hingga membangunkan padi yang sudah mati.

Mendekati pemilu semua sudah berjibaku, hingga lupa janji yang lalu dan memulai janji yang baru sampai lupa bahwa di timur masih sering mati lampu. Semua sudah tahu karena ini bukan lagi rahasia khusus, bahwa hari ini setiap mereka mementingkan isi perut dari pada mati lampu. Andai mereka tahu bahwa karena gara-gara mati lampu seorang, anak mati karena tersandung batu.

Sebentar lagi sudah mau masuk pemilu, semoga saja soal mati lampu bukan menjadi isu untuk janji baru. Demi sebuah kursi empuk nyaman di pakai tidur sehingga lupa akan janji baru.

Artikel Terkait: Menjadi Wanita Perokok, Menikmatinya Saja Sulit

Mungkin sekian dulu untuk sebuah keluh yang tak berujung karena tiada tempat mengadu untuk mencurahkan isi kalbu, melihat yang duduk di kursi empuk kini mulai rapuh karena tak mampu menjalakan perahu kalau kata Abdur sang komikalucu dari wilayah timur. Semoga setelah pemilu mereka sudah bisa tidur di tempat tidur bukan di kursi empuk.

Penulis: Genta

Related Post

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *