Beranda » Anak Muda » Screenshot iPhone & Perilaku ‘Pengais Validasi’

Screenshot iPhone & Perilaku ‘Pengais Validasi’

iPhone

Screenshot iPhone & Perilaku 'Pengais Validasi'

Akhir-akhir ini, banyak media yang memberitakan tentang fenomena jasa screehshot iPhone. Hal ini wajar karena fenomena ini memang sedang terjadi dan banyak dibahas oleh netizen. Jasa screenshot iPhone (tangkapan layar iPhone) merupakan salah satu dari banyaknya cara yang dilakukan oleh Pengais Validasi untuk terlihat lebih baik menurut asumsinya.

Screenshot iPhone merupakan bagian dari bentuk-bentuk Flexing. Berikut ulasannya!

Screenshot iPhone dan Budaya Flexing

Selain pemberitaan mengenai jasa screenshot iPhone, topik dan pembicaraan mengenai budaya Flexing turut terseret dalam viralnya fenomena screenshot iPhone. Hal ini dikarenakan jasa screenshot iPhone merupakan bagian dari perilaku flexing. Secara bahasa, flexing berarti pamer. Sederhanya, flexing adalah tindakan atau perilaku yang bertujuan untuk memamerkan kelebihan, kemampuan, pencapaian, dan segala hal yang ada pada diri seseorang.

Baca Juga: Apa itu SEO? Belajar SEO dan Cara Kerjanya

Namun, hingga saat ini flexing tidak hanya terbatas untuk memarkan suatu hal yang ada dalam diri seseorang. Flexing berubah menjadi negatif, selama perilaku pamer dilakukan secara berlebihan, merendahkan orang lain, bahkan memalsukan kemampuan dan pencapaian.

Screenshot iPhone merupakan salah satu bentuk perilaku flexing yang saat ini sedang dibahas oleh banyak orang. Seorang pelaku flexing, dalam artikel ini kita sebut mereka sebagai ‘Pengais Validasi.’ Hal ini dikarenakan pelaku flexing atau Pengais Validasi adalah orang-orang yang secara tidak langsung menuntut pengakuan dan pembuktian dari orang di sekitarnya.

Jika dikaitan dengan fenomena screenshot iPhone, seorang Pengasi Validasi merasa puas jika sudah memamerkan bahwa dia pengguna iPhone. Mengapa harus screenshot iPhone? Sebab iPhone lekat dengan kelas sosial yang tinggi. Harga yang relatif mahal hanya diperuntukkan bagi kelas ekonomi menengah ke atas, membuat iPhone hanya bisa dimiliki oleh orang-orang tertentu.

Dengan alasan kelas sosial yang tinggi inilah, jasa screenshot iPhone sangat populer akhir-akhir ini. Namun, inilah yang dinamakan dengan Fake FlexingSeorang Pengais Validasi rela untuk membohongi publik agar dirinya dipandang sebagai pengguna iPhone, walaupun sebenarnya gawai yang dia miliki hanyalah android. Pengais Validasi secara tidak sadar sedang membohoni dirinya sendiri dengan pengakuan yang semu.

Perilaku flexing dengan screenshot iPhone identik dengan flexing digital. Hal ini dikarenakan, hasil screenshot iPhone akan diunggah pada media sosial seorang Pengais Validasi, baik melalui story instagram, story whatsapp, bahkan cuitan di twitter.

Dengan penggunaan teknologi media sosial ini, peluang untuk melakukan flexing menjadi sangat tinggi, hingga akhirnya flexing menjadi budaya tersendiri di masyarakat.

Pengguna jasa screenshot iPhone, biasanya menginginkan screenshot (tangkapan layar) aplikasi-aplikasi tertentu seperti:

  • Screenshot profil media sosial, seperti instagram, twitter, dan lain sebagainya;
  • Screenshot chatting-an, baik di whatsapp, direct message (dm) instagram;
  • Screenshot atau Screenrecord (rekaman layar) aplikasi seperti youtube, dan platform video lainnya, dan lain sebaginya.

Dampak Negatif Flexing Screenshot iPhone

Perilaku flexing, khususnya pada fenomena screenshot iPhone ternyata memiliki dampak negatif. Berikut dampak negatif dari perilaku flexing dan pengguna jasa screenshot iPhone.

Terjebak dalam insecurity

Seorang pelaku flexing, khususnya pada penggunaan jasa screenshot iPhone akan selalu merasa tidak nyaman dan tidak percaya diri. Ia akan terjebak pada perasaan tersebut. Parahnya lagi, pelaku flexing atau Pengais Validasi akan selalu merasa keterbatasan. Ia tidak bebas untuk mengekspresikan perasaan, misalnya merasa terhibur dengan isi chat di whatsapp dan ingin membagikan isi pesan whatsapp tersebut ke dalam screenshot di story whatsapp, namun karena tidak menggunakan iPhone, ia merasa tidak bebas berkespresi.

Bahaya tersebarnya identitas pribadi

Pada beberapa jenis tangkapan layar, seperti isi pesan dalam ‘dm’ instagram, si penyedia jasa screenshot akan meminta akses ke akun pribadi pengguna jasa. Hal ini memungkinkan oknum penyedia jasa untuk mengakses data pribadi pengguna, seperti nama lengkap, alamat, email, tanggal lahir, dan lain sebagainya. Bahkan parahnya lagi, akun pribadi pengguna jasa dapat dibajak oleh penyedia jasa yang tidak bertanggung jawab, dan masalah pun akan semakin panjang.

Berdampak pada hubungan dunia nyata

Jika si Pengais Validasi memiliki banyak teman dalam kehidupan nyata, maka ada kemungkinan hubungan pertemanan tidak akan begitu murni. Hubungan pertemanan akan menjadi semu, atau fake (palsu). Semua hal yang dipamerkan di media sosial, umumnya memang menjadi konsumsi publik. Maka tidak salah jika pengonsumsi akan melakukan complain atau minimal meng-gosipkan tentang semua hal yang dipamerkan di media sosial.

Evaluasi Diri

Pada akhirnya Pengais Validasi tidak akan bertahan lama dengan terus-terusan menggunakan jasa screenshot. Semua akan berakhir sia-sia, bahkan akan menjadi bumerang tersendiri bagi pelaku flexing atau Pengais Validasi. Semua tuntutan atas pengakuan dari orang lain akan menjadi semu, jika apa yang melekat dalam diri bukanlah murni milik kita. Kita seakan-akan membohongi diri kita sendiri, dan kita sadar atas kelalaian itu.

Perihal flexing di media sosial tidak hanya tentang penggunaan screenshot, tetapi juga berkaitan dengan gaya hidup, lingkungan, dan pencapaian palsu lainnya. Seperti kehidupan foya-foya yang identik dengan hedon, budaya nongkrong yang terlalu memaksakan kehendak finansial pribadi, dan lain sebagainya.

Baca juga: Insecrue Penyebab Fatal Gangguan Mental

Memarkan pencapaian tidak salah selama dalam batasan yang wajar, seperti untuk membentuk personal branding, namun dengan memperhatikan kondisi dan situasi, juga dengan menggunakan bahasa-bahasa yang tidak merendahkan orang lain. Kita juga harus menghargai pencapaian orang lain, sehingga kita benar-benar dapat mengerti tentang pencapaian kita sendiri, dan dari sinilah kita bisa  paham bagaimana pencapaian kita dihargai oleh orang lain.

Penulis: Sahril Humolungo

Related Post

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *