Beranda » Anak Muda » Rokok, Budak Kapitalis, dan Stigma Wanita Perokok

Rokok, Budak Kapitalis, dan Stigma Wanita Perokok

Rokok, Budak Kapitalis, dan Stigma Wanita Perokok | Ilustrasi Growthney

Rokok, Budak Kapitalis, dan Stigma Wanita Perokok

Rokok membunuhmu, tidak merokok juga membunuhmu. Lebih baik merokok sampai mati.

Kita Semua sama Sayang, Kita Semua adalah Budak Kapitalis.

Ulasan ini bisa ditujukan untuk perokok pasif dan aktif serta tentu saja teman saya tercinta Ripaldi Daud yang baru saja membahas mengenai Gender Equality tanpa tahu pengertian yang sebenarnya dari pemaknaan ini. Oke, sebelumnya ini tidak bermaksud untuk mengajak gelut ya hahaha.

Gender dalam buku Analisis Gender dan Transformasi Sosial milik Mansour Fakih, dimaknai sebagai konstruksi sosial dan kultural yang dibuat di masyarakat dan telah dijadikan suatu keharusan. Sedangkan Equality dalam Bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai persamaan.

Saya menjadi bingung pada pembahasan mengenai Stigma Gender dan Sex pada tulisan Mr. Daud yang katanya, “dari sudut pandang Gender Equality, stigma ini memperjelas bahwa wanita akan dianggap istimewa jika tidak merokok, ada nilai lebih terhadap mereka yang tidak merokok,” terdengar sedikit rancu karena dalam konsep gender yang digaungkan adalah kesamaan hak antara perempuan dan laki-laki dalam mengakses apa saja.

Bahkan, kata Equality saja sudah menjelaskan mengenai persamaan. Tak ada istilah membeda-bedakan atau bahkan memberikan pelabelan “Istimewa” untuk satu golongan tertentu, dalam hal ini adalah perempuan karena tidak merokok yang nyatanya rokok selalu dilabeli dengan citra maskulin ala laki-laki.

Tulisan Daud yang memuat beberapa sub-judul, mulai dari gender hingga kerusakan alam ini menurut saya sangat tidak jelas karena tidak menjelaskan mengenai dari mana sumber data dihimpun, setahu saya walaupun opini, tulisan tetap harus dilandasi data yang jelas dan tidak terkesan mengasal yang membuat bingung pembaca.

Agar tulisan ini lebih Afdol, saya kemudian membaca jurnal yang diikut sertakan dalam tulisan Daud. Jurnal ini adalah penelitian milik Devi Kurnia Fitri yang membahas mengenai Perilaku Merokok pada Perempuan di Perkotaan (Studi Kasus Mahasiswa di Kota Pekanbaru).

Hasil dari penelitian ini adalah mahasiswi yang merokok berawal dari pengetahuan mengenai rokok dari skala komunitas terkecil yaitu keluarga, dan ini adalah imbas dari kelalaian keluarga karena tidak mengontrol anaknya sehingga melakukan perilaku merokok. Yang unik dari penelitian ini adalah dari awal Devi mengatakan bahwa, merokok sangat tidak pantas untuk kaum perempuan dan katanya hakikat perempuan adalah tidak merokok.

Menurut saya sangat lucu, sungguh penelitian yang berbasis gender tapi juga ada bias gender didalam-Nya. Lagian, untuk pembahasan gender sangat banyak referensi buku ataupun jurnal yang enak untuk dibaca, jadi membaca satu jurnal dan menjadikan jurnal itu satu-satunya referensi saya rasa tidak cukup bijak (mungkin kalian berpendapat sama?).

Iklan dalam Pembentukan Stigma Wanita Perokok

Pada tahun 1968 sebuah rokok dengan merek Virginia Slim sukses menjadi sebuah awal mula perlawanan kaum feminisme terhadap domestikasi perempuan pada iklan. Iklan ini sukses melahirkan citra perempuan yang baru dengan desain rokok 23 mm lebih kecil 2 mm dari rokok biasa yang jelas ditujukan untuk pria.

Philips Morris dengan iklan Virginia Slim-nya sangat sukses di pasaran. Namun, alih-alih memahami dan mendukung gerakan penolakan perempuan dalam domestikasi perempuan, pengiklan lebih melihat mengenai pertimbangan ekonomi yang didapatkan dari iklan rokok yang fenomenal ini.

Kasihan ya Bestie, tak kalah kasihan lagi dengan laki-laki yang katanya akan terlihat lebih maskulin ketika sedang mengisap rokok. Yasraf Amir Piliang dalam bukunya Semiotika dan Hipersemiotika, sempat mengkaji sebuah poster iklanDjarum Superyang dihiasi gambar pria, dan teks “Super Taste For Super People” dan kalimat pendukung “Lebih Gurih-Lebih Nikmat.”

Menurut Pilliang, iklan rokok ini meminjam kode pria gagah, jantan dan Machoserta tanda bahasa Super People. Dalam artian, ketika mengisap rokok Djarum Superakan membuat laki-laki lebih berkualitas, kondisi atau posisi Super bagi si pengisap.

Hal yang sama juga dilakukan hingga kini oleh pengiklan rokok merek lain yang sering kali menampilkan laki-laki dengan aktivitas olahraga yang terkesan sangat Manly, seperti iklan kita adalah Surya – The Absence of Lights (Full 90s) yang terbit pada Juni 2022 atau iklan rokok lain yang bisa kalian liat di Youtube, yang selalu menampilkan pria dengan kegiatannya di luar area domestik.

Jadi secara tidak langsung iklan turut ikut andil dalam proses pemberian makna dan stigma ini. Dan pengiklan? Jangan tanya sahabat, semakin laku produk yang diiklankan tentu saja semakin banyak keuntungan yang didapatkan.

Rokok dalam Budaya Gorontalo

Di Gorontalo sendiri, ada kebiasaan Pomamaatau memakan pinang dan sirih, kata teman saya semenjak ada rokok ibu-ibu zaman dulu mulai beralih dari budaya Pomamaini dan mengganti kebiasaan mereka menjadi merokok.

Baca Juga: Opini: Menjadi Wanita, Menikmati Rokok saja Sulit

Awalnya rokok dijadikan sebagai selingan namun semakin lama, berkurangnya pinang dan sirih, para wanita-wanita ini kemudian beralih kepada rokok dan beberapa di antaranya masih bisa kita lihat hingga sekarang. Sering kali ketika berjalan di sore hari, saya melihat ibu-ibu lansia yang merokok dengan santainya di balkon rumah sembari meminum teh dan berbincang dengan suaminya, atau ketika sedang ke pasar, hal yang sama juga sering saya lihat.

Tapi adakah yang berani memberikan stigma nakal pada ibu-ibu lansia ini? Tentu saja tidak ada. Bahkan guru saya sempat berkata dengan nada bercanda “mar ngoni jangan bilang nakal tu oma-oma yang sementara merokok, so memang begitu dorang.”(tapi nenek-nenek yang merokok jangan disebut nakal, mereka memang seperti itu).

Hal yang membuat saya bingung ialah, kenapa perempuan muda yang merokok di tempat umum selalu menjadi masalah bagi perempuan lain atau laki-laki lain dengan embel-embel ‘perempuan tidak baik’. Padahal jika kita tarik dari segi medis sama saja, rokok dapat memberikan penyakit yang sama untuk para ibu-ibu lansia ini.

Rokok dalam Studi Kesehatan dan Hak Tubuh

Banyak dari kita paham mengenai hal buruk yang terjadi pada tubuh karena dampak rokok, tapi apakah kita peduli? Tidak, bahkan banyak yang berkata “merokok membunuhmu, tidak merokok juga membunuhmu. Lebih baik merokok sampai mati.” Banyak juga yang menganggap rokok akan lebih mencairkan suasana ketika nongkrong, akan membantu menemukan teman baru bahkan membantu ketika otak sedang buntu atau mata sedang dalam keadaan sangat mengantuk.

Tapi, apakah saya peduli? tidak juga, karena hak untuk memilih apa yang akan kita konsumsi adalah pilihan setiap individu terhadap tubuhnya. Walaupun saya tidak peduli saya akan membeberkan beberapa efek buruk yang terjadi ketika tubuh mengonsumsi rokok dalam jangka waktu yang lama.

Kita pasti paham jika kandungan senyawa pada rokok mampu untuk memicu berbagai jenis penyakit di antaranya Penyakit Jantung, Kanker, Bronkitis, Trombosit Koroner dan penyakit lain yang tentunya merugikan tubuh secara serius.

Menurut penelitian Nururrahmah mengenai Pengaruh Rokok Terhadap Kesehatan dan Pembentukan Karakter Manusia, rokok dapat membuat bercak pada gigi dan mengakibatkan bau mulut, rokok juga mampu membuat ketagihan secara fisik maupun kimia karena adanya kandungan nikotin dan tar yang mendominasi rokok.

Segi perawatan wajah rokok dapat merugikan karena senyawa pada rokok akan menghambat aliran oksigen dan zat gizi yang diperlukan oleh wajah akibatnya akan membuat wajah terlihat lebih keriput, tidak kencang (apalagi Glowing).

Ini yang paling banyak kita jumpai perilaku Automatic Habitatau kebiasaan dalam merokok, seperti membuka bungkus, menyalakan dan mengisap dalam-dalam lalu dihembuskan, merokok sehabis makan, merokok sambil minum kopi, dll. Dengan merokok akan terjadi ketergantungan secara psikologis/emosional ini dapat dilihat dari kebiasaan merokok untuk mengatasi masalah yang bersifat negatif. Seperti perasaan gelisah, kalut atau frustrasi.

Komisi Nasional Pemberantasan Tembakau (komnaspt.or.id) data World Health Organization (WHO), menunjukkan bahwa angka kematian yang terjadi akibat rokok mencapai 30% atau setara dengan 17,3 juta jiwa. Angka tersebut diperkirakan akan terus meningkat hingga tahun 2030, sebanyak 23,3 juta jiwa. Indonesia sebagai negara ketiga dengan pengisap rokok terbanyak tidak mungkin menghilangkan rokok dari negeri ini, alasannya? Karena cukai rokok terlampau besar.

Dilansir dari Katadata.co.id sejak tanggal 1 Januari 2022 cukai rokok meningkat menjadi 12%. Dan perbuatan yang paling sia-sia yang pernah dilakukan manusia adalah memasukkan gambar penderita penyakit karena rokok serta imbauan larangan dan layanan berhenti merokok yang sering kita temukan di kemasan rokok.

Melihat data tersebut, apakah kalian berpikir ini menjadi salah satu pertimbangan dalam produksi rokok. Kalian pikir pengiklan peduli dengan semua penyakit di atas? Sepertinya tidak begitu, lagi-lagi hanya untuk kepentingan dan kelangsungan produksi rokok agar perusahaan tetap berjalan.

Baca Juga: Rokok dan Hak Perokok Aktif

Jadi tak ada yang salah di sini, perempuan maupun laki-laki merokok adalah pilihan dan kehendaknya sendiri. Hal alamiah yang membedakan perempuan dan lelaki hanya peran menyusui, melahirkan dan mengandung yang harus dilakukan oleh perempuan dan proses produksi sperma yang terjadi pada laki-laki, selebihnya sama saja tergantung pilihan dan keinginan setiap individu.

Perempuan tak perlu dilabeli nakal karena merokok, dan laki-laki tak perlu dilabeli tidak Macho ataupun cupu yang memilih untuk tidak merokok. Karena tak ada yang salah, mari kita salahkan kapitalis atas perdebatan bodoh kita mengenai rokok. Kita semua sama sayang, kita semua adalah budak kapitalis.

Penulis: Ummul Uffia

Editor: Hudalil Mustakim

Related Post

One Reply to “Rokok, Budak Kapitalis, dan Stigma Wanita Perokok”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *