Rasa-rasanya, suaraku masih berserak. Postingan perlawanan di media sosial kami, juga masih hangat. Segala peralatan demonstrasi, dan euforiannya juga masih sangat terasa. Ia benar, ini tentang demonstrasi yang dilakukan oleh beberapa kawan, tepat saat DPR RI menggelar rapat paripurna, mengesahkan rancangan kitab undang-undang hukum pidana atau RKUHP. Hal inilah yang membuat saya dan (mungkin) seluruh aktivis mahasiswa, pembela HAM dan demokrasi, hingga akademisi tulen, geram. Dan menyerukan ekspresi penolakan mengesahkan tersebut. Tentunya dengan berbagai macam cara.
Dalam analisis yang berkembang dari pemantauan media-media Mainstream, ditambah dengan hasil bacaan lusuh di buku-buku yang kami beli dengan berhutang, hingga diskusi-diskusi di emperan kampus dan jalanan kota. Sangat dirasakan adanya kekeliruan dalam pengambilan kebijakan, pengesahan RKUHP ini. Kekeliruannya terlihat jelas, dalam pengesahannya yang terburu-buru.
RKUHP Disahkan & Lingkaran Masalah

Pengesahan RKUHP sendiri, memang terus menjadi polemik dalam beberapa tahun belakangan. Sehingga pemerintah pusat, khususnya Kementerian Hukum dan HAM merasa sudah saatnya RKUHP mendapatkan tempat, dalam dikursus DPR RI, dan segera di sahkan. Meski begitu, pengesahan RKUHP, juga tetap menuai kritik dan penolakan dari masyarakat. Khususnya masyarakat sipil (Baca: Gramsci tentang Civil Society). Karena dinilai masih mengandung banyak pasal bermasalah.
Di tengah pertentangan itu, kondisi rapat paripurna DPR RI hanya melibatkan 290 dari total 575 anggota Dewan. Karena 108 anggota hadir secara virtual, serta 164 anggota izin. Sehingga hanya 18 orang anggota dewan yang bisa hadir secara fisik, dalam ruang rapat paripurna yang di Pimpin oleh Wakil Ketua DPR itu. Fakta ini seakan mengafirmasi, wacana publik tentang pengesahan RKUHP yang terburu-buru, sehingga tidak berhasil mengakomodir aspirasi publik yang terus meminta, adanya perbaikan RKUHP (baca: Aliansi Reformasi RKUHP).
Aturan tentang Living Law, yang mendapatkan ruang istimewa dalam peraturan pemerintah pusat, berpotensi membuat seseorang bisa dipenjara, tanpa perlakukan aktivitas kriminal. Hanya karena, perilakunya tidak sesuai dengan aturan yang hidup dan berlaku di masyarakat tempatnya berada. Dalam catatan Komnas HAM, Living Law yang biasanya menjelma dalam norma masyarakat, masih didominasi oleh aturan yang mendiskriminasi etnis, ras, agama hingga orientasi kepercayaan tertentu. Tak jarang kita mendengar, adanya konstruksi sosial yang sangat mendiskriminasi perempuan. Dan ini termasuk dalam Living Law.
Larangan mengkritik Presiden dan lembaga pemerintahan juga menempati posisi yang sakral, dalam kajian isu kami. Presiden yang menanggung peran ganda, yaitu sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, membuatnya bertanggung jawab penuh dalam jalannya roda pemerintahan.
Lembaga-lembaga negara seperti TNI POLRI hingga DPR yang berlagak sok jago, dan sering melakukan kriminalisasi kepada rakyat, namun makan dari hasil keringat rakyat ini, membuat mereka harus dan wajib dikritik. Sebagai kontrol sosial, atas segala amanah dan tanggung jawab dalam mengurus masalah kebangsaan.
Artikel Terkait: Kisah Lucu di Negeri Tercinta, Indonesia
Selain itu larangan mengembangkan sosialisme marxisme yang mengancam upaya pencerdasan kehidupan bangsa, peringanan hukuman minimal bagi koruptor, penguatan potensi pelanggaran hak asasi manusia, hingga ancaman kebebasan pers yang sebenarnya telah diatur regulasinya oleh Dewan Pers, membuat pasal-pasal dalam RKUHP bisa menjadi alat pembenaran para Elit negara, untuk mengriminalisasi suara-suara kritis yang menuntut adanya perbaikan kualitas bangsa.
Sederet polemik dalam RKUHP ini, menjadi masalah yang harus dituntaskan oleh Paramex sebagai obat sakit kepala yang sering menjadi langganan para aktivis mahasiswa. Masalah ini menambah panjang kajian-kajian strategis. Kajian yang bertambah panjang, membutuhkan otak yang lebih keras dalam berpikir. Otak yang dipacu pun, harus dipupuk dengan banyaknya bacaan. Apalagi berpikir tanpa ditunjang logistik yang memadai, membuat malam-malam kajian isu menjadi semakin berat dan berlarut-larut. Tak jarang, kondisi ini yang membuat aksi pada esoknya, lebih keras dan radikal.
Namun, di tengah kondisi yang serba semrawut seperti ini, apa yang dilakukan negara, dalam menjawab segala permasalahan ini. Apa yang terjadi setelah RKUHP disahkan?
RKUHP A.K.A Pembungkaman
Jika merujuk dalam model pemberlakuan kebijakan di negara-negara fasis dan totaliter, langkah yang diambil Elitpemerintahan kita, memiliki nilai yang serupa. Bagaimana ketika Fasisme Hitler dengan partainya Nazi, menantang dan memburu para pemikir Mazhab Frankrut, yang kerap memberikan ulasan kritis atas segala kebijakan negara. Atau seperti Fidel Castro dan Che Guevara, yang mengkultuskan satu model partai dan pemerintahan, hingga membungkam gagasan perlawanan atas model negara yang diusungnya.
Model kebijakan pemerintah Indonesia, setelah RKUHP disahkan juga seperti ini. Alih-alih membuka ruang kritik dan memperkuat partisipasi publik, dengan mendatangi kampus-kampus hingga ruang-ruang diskusi Civil Society, Kementerian Hukum dan HAM malah menantang dan dengan santainya meminta para pengkritik RKUHP untuk membawa penolakannya ke Mahkamah Konstitusi.
Padahal, pemerintah dan berbagai lembaga negara, didirikan agar masyarakat tidak terlalu banyak mengadukan permasalahan hukum ke MK. Kementerian Hukum dan HAM bahkan merendahkan para pengkritik RKUHP, dengan memberikan perkiraan bahwa MK akan menolak gugatannya, karena produk hukum ini sudah dipastikan layak dan sesuai.
Kondisi MK yang diduduki oleh ketua, yang telah menjadi saudara Presiden, membuatnya memiliki hubungan internal yang khusus, dan tentunya tidak akan terbaca, dalam penegakan hukum kita yang sangat menghamba pada asas positivistik. Ditambah sistem presidensial kita yang terlalu mengakar, dan demokrasi yang diisi oleh kualitas sumber daya manusia di bawah rata-rata, membuat jalur MK tidak mudah dilalui oleh para pemikir, yang bekerja serabutan dan hidup dari bacaan buku-buku lusuh. Namun jalur ini, megah bagi para Elit birokrat, yang dilabeli oleh status partai, dan dikangkangi oleh perusahaan-perusahaan kapital.
Cara lain yang digunakan oleh pemerintah, dalam melawan kritik publik adalah dengan menggalang wacana tandingan, yang bersifat propagandis. Persis seperti cara Negara Liberal sekelas Amerika, yang mendirikan Division Office Wars, untuk melawan wacana Nazi Jerman di bawah kepemimpinan Adolf Hitler. Pemerintah Indonesia juga lagi-lagi memberdayakan dan mengerahkan para artis dan Influencer, untuk melawan kritisisme publik.
Langkah ini menjadi kekeliruan besar, karena negara lebih berpihak pada sekelompok orang yang menjalankan wacana hegemonik, dibandingkan orang-orang yang menjadi pakar dalam masalah kesejahteraan rakyat. Hal inilah yang diulas oleh Tom Nichols dalam bukunya, sebagai “Matinya Kepakaran”.
Alhasil, wacana kritis yang di gaungkan oleh publik dalam menolak RKUHP, dilawan oleh sekelompok orang yang lihai memainkan media sosial sebagai “Influencer Kapitalisme”. Yaitu para pegiat media sosial, yang melakukan sesuatu (mensosialisasikan pengesahan RKUHP), dengan syarat menerima imbalan dari negara. Mereka sering hadir membawa sensasi yang kontroversi di media sosial, untuk menarik “perhatian” netizen. Tanpa pertimbangan kritis, apakah yang dilakukannya, berdampak baik atau buruk. Dan tentunya, imbalan yang tidak sedikit dari negara ini, diambil dari pajak masyarakat, dan dilakukan untuk membungkam protes masyarakat juga.
Jika jawabannya, adalah pemerintah membutuhkan tim khusus untuk mensosialisasikan programnya, maka segala tim protokol, humas dan sebagainya, serasa seperti “ban bocor” di lingkaran Elit pemerintahan, yang tidak bisa lagi digunakan. Sehingga dibutuhkan “ban cadangan” seperti para influencer kapitalisme ini. Lagi-lagi, langkah yang diambil oleh pemerintah, tidak mencerminkan kelompok Elit karismatik dan berwibawa, dengan kualitas intelektual yang memberikan keteladanan bagi rakyatnya.
Sejatinya, media sosial tidak sepenuhnya bersifat “sosial”, namun lebih bersifat “hegemonik”. Kata sosial yang disematkan padanya, justru menghegemoni masyarakat (Baca: Gramsci; negara dan Hegemoni), sehingga tidak menyadari, bahwa yang terjadi sebenarnya adalah akumulasi modal dan peningkatan konsumerisme masyarakat. Dan parahnya lagi, mengulang argumentasi di atas, kualitas SDM Indonesia yang masih dibawah, membuat permainan hegemonik yang dikerahkan oleh negara, mampu membungkam wacana kritis dari kelompok Civil Society yang kritis akan Public Policy.
Artikel Terkait: Piala Dunia dan Belenggu Masalah dalam Negeri
Pengerahan lembaga negara yang berpotensi melakukan “Abuse of Power” dan membungkam masyarakat lewat pengerahan “Influencer Kapitalis”, menjadi benteng besar Civil Society, untuk memperjuangkan keadilan dan melawan oligarki yang menyelundupkan kepentingan pribadi, di atas kepentingan umum. Sehingga tak jarang, nyanyian revolusi selalu diteriakkan dan menari-nari di setiap kajian strategi dan taktik kita.
Meski begitu, suara-suara kritis dan perlawanan masif, harus terus dikerahkan untuk melawan segala kebijakan yang tidak pro dengan kepentingan publik. Tidak mudah memang. Karena revolusi atau perubahan nyata, sejatinya tidak seperti berjualan di pasar. Mempersiapkannya pada malam hari, berjualan pada siang hari dan menghitung hasil pada sore harinya. Revolusi adalah pekerjaan para perancang peradaban besar. Prosesnya butuh usaha yang ulet dan terus-menerus dalam menyuarakan keadilan.
Dalam sejarah kebangsaan, perlawanan akan ketidakadilan memang ditakdirkan tidak selalu keluar sebagai pemenang. Namun peradaban membuktikan, bahwa dalam setiap masa, ada saja sekelompok manusia, yang hadir sebagai pejuang untuk melawan kebijakan otoriter dan tidak berpihak pada hajat hidup orang banyak.
Mereka adalah sekumpulan orang-orang kritis, yang berani bersuara. Tidak hanya menghabiskan waktu dalam ilusi perkuliahan, terkurung dalam tembok-tembok teoretis kampus, yang bersifat sekuler konservatif, dan mengkhianati hakikat ilmu pengetahuan.
“Penindas dan yang tertindas (karena tidak melawan), sama-sama menggunting keadilan” (Imam Ali Bin Abi Thalib)
Bangun, Minum Air Segelas
Sadar, Buat Aturan Tidak Jelas
Siapa lagi kalau bukan (DPR)
*Dedikasi Pembasmi Rakya*