Beranda » Anak Muda » Panjang Umur Pungli di Lingkungan Kampus

Panjang Umur Pungli di Lingkungan Kampus

Terdidik oleh Pungli

Berbicara mengenai pungli, dulu ketika saya masih SD (Sekolah Dasar), seringnya saya mendapatkan amanat saat jam sekolah berakhir. Amanat tersebut datangnya dari beberapa guru yang mengajar di sekolah saya, amanat berupa uang tambahan untuk biaya pembangunan, fotokopi (Ini sangat sering), hingga uang kas untuk kebutuhan tak terduga di ruang kelas (Ini benar-benar saya ingat).

Jika boleh jujur, saya tidak begitu mengerti bagaimana mekanisme program Dana BOS dalam menunjang kebutuhan pendidikan, sehingga sekolah akan selalu merasa kurang dan membutuhkan bantuan dari para siswa/i.

Artikel Terkait: Mahasiswa dan Eksistensialisme

Ini bukan sekadar sindiran semata, saya hanya skeptis dan khawatir saja dengan cara-cara yang dilakukan pihak guru atau sekolah. Sungguh disayangkan, mengapa guru harus memilih pilihan untuk meminta sedikit dana dari siswa/i, bagaimana jika mereka tidak menuruti hal tersebut? Bukankah terkesan sedikit memaksa?

Budaya pungli seakan telah diresmikan, hingga akhirnya langgeng sampai saat ini. Beberapa bahkan tidak mengatakan yang sejujurnya kepada orang tua, jika semisalnya membutuhkan dana untuk kebutuhan sekolah, setidaknya harus melakukan konsensus dengan orang tua/wali murid.

Berbicara mengenai pungli, entah mengapa ini sudah menjadi budaya dalam sistem tatanan sosial negeri Wakanda. Tanpa perlu melampirkan data pungli, saya rasa kita semua setuju pernah setidaknya menemukan praktik pungli, atau bahkan turut mengalaminya. Jangan hipokrit, beberapa bahkan menjadi Pelaku pungli itu sendiri, coba ingat kembali.

Lelah, praktik pungli masih sering saya temui dan seakan tidak pernah oleh waktu, bahkan sampai saya menginjak bangku perkuliahan. Pungli bagaikan virus yang hidup berdampingan dengan manusia, mengancam dan mudah menjangkiti. Kita dibuat pasrah oleh penyakit moral yang satu ini, seolah tak ada penawar yang mampu menghentikan virus ini. Pungli, masih banyak menimbulkan perasaan resah dan dirugikan, namum tetap dimaklumi dalam tatanan kehidupan sosial.

Penyakit moral yang satu ini seakan memaksa kita, untuk dapat beradaptasi dengan praktiknya yang bisa kita temui di mana saja, mulai dari sekolah, universitas, hingga pemerintahan.

Antara Suara dan Kecaman

“Unsrat Masih Banyak Pungli”

Tulis seorang wisudawan yang menyuarakan berbagai macam keluhan dari mahasiswa pada saat proses wisuda berlangsung. Aksi nyentrik ini dengan berani dia suarakan, mungkin karena telinga dan matanya telah panas, tidak tahan dengan berbagai macam praktek pungli yang dialami oleh sesama teman, atau bahkan dia sendiri.

Lantas, momentun ini menjadi viral di jagat media sosial. Membuat Unsrat atau Universitas Sam Ratulangi menjadi sorotan yang diberitakan di berbagai media, tidak sedikit berita yang memberikan penilaian buruk atas institusi yang tercantum.

Anehnya, aksi berani nan heroik ini mendapatkan kecaman yang serius, karena dianggap sebagai tindakan pencemaran nama baik kampus (Lagi dan lagi), bahkan sempat diancam untuk dilaporkan kepada pihak berwaijb jika terduga tidak dapat membuktikan prakter pungli. Oh tentu saya, kampus.

Menurut saya pribadi, aksi tersebut dengan gagah berani dilakukan untuk kebaikan bersama, untuk memberikan informasi bahwa adanya praktik kerusakan moral yang masih langgeng di lingkungan kampus. Suara ini, merupakan satu dari ribuan suara mahasiwa yang tidak mampu menyuarakan pendapatn mereka atas tindakan yang merugikan banyak orang.

Kurang lebih begini konsepnya; segala bentuk masalah yang dihadapi oleh mahasiswa, semuanya bisa diselesaikan dengan sangat cepat menggunakan uang. Prosedur? Itu urusan kebelakangan!

Tampan dan Pemberani, adalah sebutan yang cocok untuk disematkan kepada mahasiswa Universitas Sam Ratulangi tersebut. Aksi heroik yang penuh keberanian, di mana mahasiswa merasa jijik dan lelah dengan praktik pungli yang semakin merajalela.

Memang demikian, sikap yang ditunjukan dianggap merugikan institusi atau lembaga pendidikan yang dengan jelas menyebut nama universitas, yang padahal pelaku hanyalah segelintir oknum dari lembaga itu sendiri. Mungkin demikian yang dimaksud olehnya.

Kasus ini menimbulkan asumsi saya bahwa, motif mahasiswa yang melakukan tindakan benari ini merupakan aksi akan lelahnya para mahasiswa terkait kasus pungli yang dilanggengkan. Ditambah, mungkin saja ada banyak korban lainnya yang merasa sangat dirugikan (Mungkin beda ceritanya dengan mahasiswa dari kalangan atas). Ide menyampaikan suara saat proses wisuda berlangsung, merupakan momentum yang tepat karen disaksikan langsung oleh ribuang orang yang menonton.

Jikalau dugaan saya benar, maka saya ingin menandai para cecunguk-cecunguk kampus yang taat dalam praktik demokrasi. Karena kalah dengan mahasiswa biasa tanpa embel-embel anggota organisasi kampus, dalam menyuarakan suara mereka. Cecunguk yang hipokrit ini merasa paling peka akan isu pemerintahan, namun pura-pura buta akan isu yang sedang memeluk diri mereka.

“Saya putuskan untuk melakukan demonstrasi karena mendiamkan kesalahan adalah kejahatan”. -Su

Pungli Awal Budaya Korupsi

Pungli bisa dikatakan sebagai tindak korupsi, dan korupsi adalah kajahatan yang harus ditanggapi serius. Meskipun dalam skala kecil dan tidak merugikan uang negara secara langsung, tentu saja Ini menyebalkan, pungli merebut uang saku yang seharusnya dipergunakan dengan lebih baik.

Mahfud MD selaku Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) mengatakan bahwa, pungli sendiri merupakan salah satu dari tujuh jenis korupsi. Pungli akan merugikan masyarakat dalam praktiknya, apalagi jika yang mengalami termasuk masyarakat berekonomi lemah.

“Pungli merupakan salah satu dari tujuh jenis korupsi, korupsi itu memperkaya diri sendiri atau korporasi, secara melawan hukum dan merugikan keuangan negara, meskipun pungli tidak merugikan keuangan negara, tetapi keseluruhan pengertian korupsi itu ada yang tidak merugikan negaraseperti suap yang akan berdampak buruk pada masyarakat”.

Artikel Terkait: Pentingkah Organisasi Bagi Mahasiswa?

Romantisisme Pungli dan Kampus

Suara kecil dari satu mahasiswa ini, merupakan suara yang menyentuh kesadaran mahasiwa lainnya untuk mereka petinggi kampus, agar bisa berupaya untuk memberantas, atau paling tidak mengurangi pelaku pungli yang merajalela. Sayangnya, instansi ini dengan tanpa memperdulikan suara mahasiswanya, hanya mementingkan citra dan nama baik kampus. Kampus lebih memilih memendam penyakit, daripada mencari penawar.

Menurut saya, jika mediasi tidak juga mempan, sebaiknya telanjangi saja dengan demonstrasi, kalau juga masih kebal, Ombudsman mungkin akan menjadi solusi terbaik. Kejam? Tidak lebih kejam daripada pelaku pungli itu sendiri.

Sebagian dari kalian mungkin akan bertanya, apakah saya akan melakukan hal serupa? Saya sedang melakukannya sekarang, melalui tulisan ini, setidaknya sampai tulisan ini diterbitkan. Saya ingin menggapai pembaca khususnya mahasiswa diluar sana, untuk setidaknya jangan takut memberikan laporan dan menyuarakan keresahan mereka terkait pungli.

Kampus adalah tempat manusia untuk menjunjung tinggi demokrasi, nilai, norma, dan moral. Mensterilkan kampus dari pelanggaran moral yang satu ini, merupakan sebuah kewajiban, bukan begitu? Beruntungnya, kampus dan jurusan tempat saya menimba ilmu terhindari dari penyakit pungli, tidak ada yang berani melakukan praktik pungli (Orang bodoh mana yang percaya).

Penulis: Aldi Badaru

Editor: Hudalil Mustakim

Related Post

2 Replies to “Panjang Umur Pungli di Lingkungan Kampus”

  1. Penulisan yang bias gender. Saya binggung kenapa tampan harus dilekatkan dengan perilaku berani seorang mahasiswa😅🙏🙏🙏

    1. Halo, Kak. Terima kasih atas feedbacknya hehehe. Mungkin saja karena kebetulan yang viral di Unsrat itu cowok, jadi si penulis menyebut tampan. Kalau cewek yang viral di video itu, pasti penulis menyebut cantik. Huhuhu

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *