Beranda » Opini » Komunikasi Sarkastis: Indikasi Dominasi dan Hegemoni

Komunikasi Sarkastis: Indikasi Dominasi dan Hegemoni

Komunikasi Sarkastis

Tulisan ini berisi ulasan tentang komunikasi sarkastis yang disandingkan dengan adanya indikasi dalam dominasi dan hegemoni suatu struktur. Sebagai bentuk disclaimer, tulisan ini dibangun atas dasar asumsi subjektif, tetapi berdasarkan pengalaman yang pernah dialami/diamati oleh penulis. Berikut lagu Sebelah Mata, dari Efek Rumah Kaca, diperuntukkan bagi kamu yang senang membaca sambil mendengarkan musik.

 


Manusia merupakan makhluk hidup yang berdampingan satu sama lain. Dalam realitas, manusia baik disengaja maupun tidak, membentuk struktur sosial. Pada konteks inilah, kehidupan, termasuk di dalamnya manusia membangun relasi antar individu, kompleksitas kehidupan, dan kebutuhan hidup masing-masing orang yang sama dan sebagian lagi berbeda.

Dalam kehidupan, manusia terhubung sesama, membentuk rumah tangga, bermukim dalam sebuah desa, mematuhi aturan tertulis hukum positif, dan hidup terbatas berdasarkan kebebasan yang dimiliki oleh setiap orang.

Manusia juga hidup terhubung satu sama lain berdasarkan multi-peran dalam kehidupan yang progresif ini. Dalam konteks keluarga, manusia memiliki banyak peran, misalnya peran sebagai anak. Ia harus hormat, dan patuh terhadap orang tua. Setidaknya ini merupakan hal normatif sejauh ini. Begitupun Ia yang juga berperan sebagai kakak dalam keluarga tersebut. Secara normatif, Ia harus menjadi teladan bagi adiknya, memberi contoh yang baik, dan menjaga adiknya dalam kemungkinan buruk yang mungkin terjadi.

Manusia tadi, yang saya analogikan sebagai anak dalam rumah tersebut, juga memiliki multi-peran dalam domain publik. Seperti dalam urusan teman, pacar, peran sebagai mahasiswa, dan anggota organisasi, bahkan berperan sebagai teman dari dosen di kehidupan luar kampus, misalnya organisasi eksternal. Semuanya terhubung sangat kompleks dalam struktur sosial tersebut.

Sementara, untuk terhubung dalam struktur sosial yang begitu rumit, manusia membutuhkan komunikasi, dengan alat yang hingga saat ini kita kenal sebagai bahasa. Bahasa bagi saya pribadi adalah anugerah Tuhan yang begitu indah dalam kehidupan ini.

Layaknya karakter manusia, bahasa juga sangat variatif di setiap daerah, bahkan dalam negara tertentu. Dikutip dari Katadata, jumlah bahasa di Indonesia pada tahun 2019 sebanyak 801 bahasa. Angka yang merepresentasikan semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Di Gorontalo sendiri, terdapat 3 bahasa, berdasarkan data dalam Peta Bahasa Kemendikbud Provinsi Gorontalo. Walaupun begitu, setiap bahasa tersebut, memiliki dialek yang sangat variatif.

Sampai di sini, tentu saya mengerti pertanyaan yang timbul. Apa kaitannya uraian ini, dengan tajuk yang mungkin saja akan dianggap clickbait bagi sebagian orang.

Uraian sebelumnya, merupakan pengantar atas pesan yang berusaha saya sampaikan. Uraian tersebut akan menjadi gambaran fenomena yang akan diulas pada poin-poin di bawah ini.

Sekarang, mari kita coba masuk dalam pandangan soal komunikasi sarkastis.

Komunikasi Sarkastis

Di sini jelas, komunikasi adalah sebuah proses. Para ahli komunikasi banyak yang berusaha mendefinisikan komunikasi sebagai proses. Sebagai salah satu dari sekian banyak definisi komunikasi adalah yang disampaikan oleh Carl I. Hovland (dalam Saleh, 2016). Ia mendefinisikan:

komunikasi sebagai proses pengoperan perangsang/lambang-lambang bahasa dari komunikator kepada komunikan untuk mengubah tingkah laku individu-individu komunikan.

Efek dari komunikasi sebagaimana definisi Hovland tersebut adalah mengubah tingkah laku individu. Namun, jika seorang komunikator menggunakan gaya komunikasi yang sarkastis, sama saja Ia sedang melukai diri sendiri.

Sebelum lebih jauh bicara soal sarkastis, saya cukup tertarik untuk kembali mengutip satu definisi komunikasi yang lain. Masih dengan sumber yang sama, Charles H. Cooley mendefinisikan:

Komunikasi sebagai mekanisme hubungan antara manusia untuk mengembangkan isi pikirian dengan lambang-lambang yang mengandung pengertian dan dengan cara yang leluasa serta tepat pada waktunya.

Saya ingin mempertegas ”cara yang leluasa” yang digunakan Cooley dalam definisi komunikasinya. Siapa saja yang berkomunikasi, memiliki gaya dan cara komunikasinya masing-masing. Bagaimana caranya membuat orang lain terpengaruh, bagaimana gaya komunikasi yang bisa membuat orang tertarik dengan kita, dan bagaimana cara kita berusaha merubah prilaku orang dalam komunikasi. Semua hal tersebut, tergambarkan dengan sempurna pada kehidupan saya. Beberapa kali saya bertemu dengan macam-macam karakter orang saat berkomunikasi. Di sini saya perjelas, cara, karakter dan gaya orang berkomunikasi tidak bisa dinilai berdasarkan baik buruknya. Bagi saya, cara, karakter, dan gaya orang berkomunikasi dinilai dari tingkat efektfitas komunikasi itu sendiri.

Komunikasi Sarkastis

Gaya komunikasi lagi-lagi berbeda setiap orang. Ada yang punya gaya komunikasi asertif, pasif, agresif, dan pasif-agresif. Tergantung ketepatan waktu yang digunakan, kira-kira begitu gambaran definsi komunikasi dari Cooley sebelumnya.

Namun, bagaimana dengan komunikasi sarkastis? Komunikasi sarkastis sering kali kita temui dalam kehidupan sehari-hari. Dalam hubungan dengan teman misalnya. Kita bahkan sering kehilangan kendali di saat ada konflik. Di sinilah titik awal bahasa sarkas tak terhankan oleh lidah, hingga akhirnya melukai perasaan orang lain.

Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi V, sarkasme merupakan (penggunaan) kata-kata pedas untuk menyakiti hati orang lain: cemoohan atau ejekan kasar. Definisi ini melintas dengan baik di pikiran kita, bahwa ada unsur kesengajaan ketika kita berkomunikasi dengan sarkastis.

Ada rangsangan kenapa orang bisa mengeluarkan kata-kata sarkas. Seperti adanya rasa tidak aman (insecurity), marah, kecanggungan sosial, dan bahkan adanya indikasi sesuatu hal yang berusaha ditutup-tutupi. Dorongan ini bisa terjadi dalam berbagai konteks sosial, termasuk dalam konteks pendidikan.

Hal yang mungkin terjadi, misalnya dalam profesionalitas kerja organisasi, dorongan untuk berkata-kata sarkas memiliki kemungkinan yang besar dapat terjadi, terlebih jika dipandang dari sudut hierarki jabatan. Dalam beberapa kasus, sering ditemukan seorang pimpinan dengan gaya komunikasi yang sarkastis, terlepas dari identitas pendidikan dan jabatan fungsional dalam struktur organisasi tertentu. Padahal dampak dibalik penggunaan bahasa sarkastis ini, akan mempengaruhi hubungan interpersonal terhadap orang-orang yang terlibat, dan tentu menyakiti hati seseorang.

Saya pribadi membayangkan bahwa komunikasi sarkastis ini berujung pada respon agresif yang tak terduga. Sebagai contoh, dalam sebuah organisasi, kebijakan yang disampaikan secara baik-baik tentu akan direspon dengan cara yang baik-baik pula,  jika memang tidak ada kontra pada kebijakan tersebut. Sekalipun terdapat kontra atas kesepakatan bersama, sebagai langkah awal, respon terhadap kebijakan tersebut adalah mediasi, diplomasi, dan tentu dengan gaya bahasa yang asertif (tidak menyalahkan pendapat orang lain dan berani menyampaikan pendapat sendiri).

Berbeda dengan suatu kebijakan yang disampaikan dengan komunikasi sarkastis, ditambah dengan kebijakan yang tidak pro terhadap anggota dalam organisasi. Tentu respon agresif tidak bisa dibendung. Pada akhirnya, pengerahan masa terjadi tanpa mempersiapkan diri. Konflik akan semakin besar dan solusi akan semakin sulit dirumuskan. Hingga, benar-benar tidak efektif lagi eksistensi suatu organisasi.

Kira-kira begitulah gambaran komunikasi sarkastis yang bisa direspon dengan cara agresif.

Namun, tidak bisa dipungkiri pula, bahwa beberapa referensi mengungkapkan orang dengan gaya bcara sarkastis merupakan orang yang cerdas. Hal ini patut disayangkan, karena dengan demikian dapat dikatakan orang cerdas adalah ‘preman intelektual’ dengan senjata sarkasme.

Benarkah Sarkastis Mengindikasikan Dominasi dan Hegemoni?

Tajuk artikel ini cukup Clickbait bagi sebagian orang, dan dengan tajuk tersebut saya pribadi membenarkan hal ini pada beberapa kondisi. Tentu berdasarkan pengalaman, dan asumsi pribadi.

Sebelumnya telah digambarkan bagaiman orang sarkas berkomunikasi, dan dampaik apa yang terjadi setelahnya. Jelas, sarkasme mengandung kata-kata negatif, pedas, ejekan, cemoohan yang sengaja. Kemudian kita bertanya, kenapa bisa sarkas? Apa penyebabnya?

Sebelumnya telah disebutkan, kenapa orang bisa mengeluarkan kata sarkas, di antaranya adalah adanya rasa tidak aman (insecurity), marah, kecanggungan sosial, dan bahkan adanya indikasi sesuatu hal yang berusaha ditutup-tutupi, lebih lanjut saya menambahkan, adanya ‘pesanan’ dari orang lain atas sebuah kepentingan tertentu.

Rasa tidak aman akan muncul, ketika tuntutan pertanyaan dalam situasi komunikasi diulang berkali-kali. Secara langsung, hal ini akan membuat keberadaan seseorang menjadi tidak aman hingga akhirnya mengeluarkan kata-kata sarkas.

Terlebih bagi seorang dengan tingkat intelektual yang tinggi, atau katakanlah strata pendidikan yang lebih tinggi, Ia akan menggunakan kekuatan intelektual yang dituangkan dalam diksi sarkastis. Tentu hal ini akan melukai perasaan orang lain, dan merubah persepsi orang lain terhadapnya, bahkan dengan respon agresif tak terduga.

Sekarang, mari kita lihat gaya komunikasi sarkastis yang dilakukan oleh pengrajin sarkastis. Selain aspek verbal, berupa pilihan kata yang negatif, berisi ejekan, dan cemooh, kita juga bisa melihat bentuk-bentuk komunikasi non-verbal yang hadir bersamaan dengan emosi negatif yang meluap-luap. Intonasi suara yang tinggi, mimik wajah yang ‘memuakkan’, tatapan tajam, dan bahasa tubuh yang tidak pernah tenang. Apa artinya ini, jika bukan indikasi dominasi.

Orang sarkastis akan berusaha untuk menguasi situasi komunikasi, tanpa memberikan celah bagi lawan bicara untuk melakukan serangan balik. Sedikit saja lawan bicara berusaha melawan, serangan baru dari seorang sarkastis muncul layaknya agresi verbal yang maksimal.

Dalam kondisi tertentu, indikasi hegemoni atas kepentingan tertentu bisa diendus, jika memang jeli. Bagi saya, hegemoni juga terikat dengan sarkasme, tergantung pada konteks dan kondisi tertentu. Lagi-lagi ini adalah asumsi yang subjektif. Beberapa kondisi, seorang dengan gaya komunikasi sarkastis, berusaha untuk mendominasi situasi komunikasi, demi menutup celah lawan bicara untuk bersuara. Asumsi lainnya adalah, adanya satu kepentingan yang berusaha ditutup-tutupi, menggunakan pengaruh kekuasaan dan intelektual, dengan balutan diksi sarkastis yang berusaha merendahkan. Inilah yang disebut Preman Intelektual dengan senjata sarkasme.

Di kalangan pendidikan, sarkasme bisa terjadi berdasarkan situasi dan keadaan yang tegang, misalnya dalam rapat organisasi mahasiswa. Beberapa kalangan sulit untuk membendungnya, hingga dari sinilah titik awal munculnya konflik dalam organisasi. Tentu hal yang mendasarinya adalah perbedaan. Tidak hanya hubungan sesama mahasiswa. Hubungan antar dosen dan mahasiswa pun, bisa melibatkan bahasa-bahasa sarkastis.

Akhirnya, setiap orang memiliki cara tersendiri untuk merespon bahasa sarkastis. Saya sendiri berusaha berkomunikasi secara asertif. Tetapi tidak bisa dipungkiri, kadang, kita bertemu dengan kondisi yang benar-benar mampu menyulut emosi kita. Hingga pada akhirnya berujung konflik. Makanya, setiap kata yang pernah dijanjikan, setiap harapan yang pernah diberi, dan setiap peluang, yang pernah ditawarkan, akan dipertanggungjawabkan.


Jika kamu punya pandangan lain terkait topik dalam artikel ini, kamu bisa menuliskannya di situs ini dengan cara mendaftarkan akun kamu sebagai kontributor, dan kirim tulisanmu DI SINI. Atau, kamu juga bisa menggunakan kolom komentar di bawah, untuk menyampaikan pandanganmu.

Related Post

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *