Daftar Isi
Mahasiswa dan Dilema ‘Kapan Wisuda’
Sebagai seorang pelajar yang sedang menempuh pendidikan perguruan tinggi tingkat semester akhir, tentu saja tak asing dengan pertanyaan-pertanyaan menyebalkan sebagaimana yang di maksud dalam judul, kapan wisuda. Kita dibuat Shock (Kaget) dan tak berdaya seperti halnya terkena Genjutsu dalam dunia Shinobi.
Untuk menjawabnya kita harus punya alasan yang lugas dan logis. Kali ini saya akan membagikan beberapa jurus andalan yang sering saya gunakan dalam menangkis pertanyaan yang sebetulnya sakral untuk diucapkan tersebut.
Tak seperti dalam dunia Shinobi, jutsu yang akan saya ajarkan bukan jurus magis yang mampu menghilangkan si penanya dari muka bumi ini, atau mampu menghempaskan dia dengan Shinra-Tensei ala Pain Akatsuki. Jutsu ini lebih realistis dan jauh dari konsep yang mungkin saja sedang kamu bayangkan.
Artikel Terkait: Opini: Menjadi Seorang Sarjana
Justu Menjawab Pertanyaan ‘Kapan Wisuda’
Jutsu dalam hal ini adalah jawaban-jawaban diplomatis yang bisa diandalkan saat terdesak dengan pertanyaan kritis seputar akhir studi. Jika kamu bertanya sejauh mana keefektifan jutsu ini atau seberapa kredibel informasi ini untuk bisa kamu terima, dapat saya pastikan kumpulan jawaban ini telah teruji dari beberapa sumber yang berpengalaman selama belasan semester, ya tentu saja mereka-mereka yang sedang berjuang dalam menaklukkan musuh terakhir yang mereka sebut Sarjana.
Jutsu ini belum diberi nama untuk disebutkan dan saya berharap kamu mau membantu saya untuk menamainya, supaya ada sensasi jutsu ala-ala Shinobi sebelum menggunakannya.
Menggunakan Majas Hiperbolis
Dalam menjawab pertanyaan kapan wisuda kali ini akan efektif apabila pertanyaan tersebut dilontarkan oleh teman sebaya, se-pertongkrongan. Menurut informasi yang dihimpun dari beberapa narasumber yang ahli tadi, dalam menjawab pertanyaan itu kadang kala kita harus menggunakan bahasa yang dilebih-lebihkan untuk dapat mengalihkan atau menghindari pembicaraan, supaya arah pembicaraan dapat teralihkan pada hal-hal yang lebih ringan. Misalnya :
Si A bertanya : “eh, ngana ini bulum wisuda? Bukan so lebih dari 4 tahun? Telat dong?”
Jawab saja dengan : Aduh bro, dunia ini terlalu cepat, tak ada kata telat untuk menimba ilmu, lagian ilmu itu tak ada batasan waktu untuk ditempuh, andai saja tak didesak dengan regulasi kampus, rasanya ingin hidup dengan status sebagai mahasiswa seumur hidup, tapi sayangnya tak mungkin”
Jawaban dengan kata yang dilebih-lebihkan seperti di atas, mempermudah kamu dalam mengalihkan pembicaraan, kemungkinan dari jawaban itu akan direspons balik, paling tidak hanya “Ah, lebay” atau “Bilang saja kalau malas”, setelahnya? akan berlanjut pada pembahasan lain.
Menggunakan Narasi Sarkastis
Kali ini akan lebih cocok untuk orang yang telah lebih dulu meninggalkan dunia perkuliahan, misalnya :
Si Cumlaude bertanya : “Woi, udah 4 tahun lebih nih, kapan lulusnya? Masa iya nunggu gw selesai S2.”
Sabar, tarik napas dan bilang saja : “Lagi sibuk ngumpulin ilmu dari kegiatan kampus nih, sibuk ikut Workshop, seminar, dan studi kolaboratif, jadi prioritasnya adalah pencapaian selama masih mahasiswa, buat portofolio nanti. Lagian kan gak masalah, selagi masih mampu menyelesaikan dengan tangan, pikiran, dan tenaga sendiri kan lebih bagus ketimbang dijokiin, saya pun masih merasa kurang dengan ilmu yang didapat, jadi merasa belum pantas untuk cepat lulus saja, hehe.”
Kesannya mungkin sedikit memaksakan dengan pembenaran yang diperhalus dengan merendah, tetapi begitulah kiasan yang sering saya dengar “Lulus di Waktu yang Tepat, bukan Tepat Waktu“.
Percayalah pertanyaan-pertanyaan tadi hanya akan ada sekali atau dua kali saja, dengan jutsu tadi mereka bakalan sadar kalau dinamika kampus itu begitu kompleks dengan perhelatan yang tak tampak di dalamnya, banyak lika-liku yang harus ditempuh.
Misalnya, birokrasi kampus yang menyebalkan, dosen yang sibuk dengan arisan, atau operator yang mata duitan. Semuanya bisa saja terangkum dalam suatu lingkungan ilmiah sekalipun. Tentu saja, selama berabad-abad masalah sekecil upil pun rasanya sulit dituntaskan di negeri.
Artikel Terkait: Panjang Umur Pungli di Lingkungan Kampus
Rasanya, wisuda tak lebih dari seremoni yang didramatisi oleh omongan tetangga dan publisitas media sosial kerabat dan sejawat. Sebetul-betulnya bagi saya, wisuda yang bermakna adalah integritas diri yang telah teruji dan diuji oleh kampus dan diri sendiri, dengan regulasinya yang tak seharusnya jadi formalitas.
Dengan begitu kita mampu mengakui dan membanggakan pencapaian yang ditelah diraih, atas dasar pengakuan diri sendiri. Setelahnya? Pengharapan dan pengorbanan orang tua kepada anaknya akan ilmu yang ditempuh selama belasan semester dapat dilunasi.
Telah sampailah tulisan ini pada saat , berbahagia, dengan selamat sentosa mengantarkan perjuangan mahasiswa tingkat akhir ke depan pintu gerbang ‘kebanggaan’ yang tak semu, bersatu, berdaulat, dan makmur.
Dengan berkat rahmat Allah yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, maka gelar mahasiswa belasan semester tampak begitu mulia.