Harapan itu semakin besar. Kepala terus berputar kencang, seakan bertengkar dengan raga, tentang apa saja yang harus dilakukan hari ini. Ya begitu memang. Kepala selalu egois tentang konsep.
Bagi saya, melepas hari dan menyambutnya sama-sama memiliki spirit yang besar. Meski melepas malam dan menyambut pagi tak menghabiskan waktu yang lama, namun dari waktu yang sempit ini, semangat dan cita-cita besar mulai dirancang dengan berbagai pertimbangan.
Tak jarang pertimbangan sosial, etis, kenyamanan bahkan pertimbangan psikologis menjadi alternatif tambahan meskipun sebenarnya minim keahlian dibidang itu. Ya begitulah, biar dibilang orang memiliki pengharapan yang paripurna.
Semua optimisme ini dikonstruksi dengan baik, saat malam di penghujung hari, harapan besar mulai terbangun. Mengubah kehidupan dunia, menghentikan perang saudara, mengganti agama bahkan mengganti model bertuhan, menjadi bangunan euforia dari cita-cita yang telah diramu.
Harapan & Waktu tidak Pernah Berkompromi
Besarnya harapan ini terkadang membuat diri susah Move On, karena waktu yang tak pernah berkompromi, namun mimpi besar tak kunjung selesai dipikirkan. Maka tak jarang tidur dan beristirahat sering menggeser jam sebagai penentu hari telah berganti atau tidak.
Baca Juga: Mahasiswa dan Eksistensialisme
Berjuta keinginan ini, diharapkan mulai diwujudkan saat kembali terjaga dari tidur, dengan ratusan sumpah serapah kepada diri apabila harapan teringkari. Begitulah salah satu teknik penghukuman diri yang tak berkompromi dengan keinginan, sebagaimana uraian sang psikolog ulung Sigmund Freud. Dan hari ini dilepas dengan penuh kelelahan, terlelap penuh gairah. Seakan menjadi momen peristirahatan terakhir.
Saat pagi menjelang, harapan itu semakin besar. Kepala terus berputar kencang, seakan bertengkar dengan raga, tentang apa saja yang harus dilakukan hari ini. Ya begitu memang. Kepala selalu egois tentang konsep. Karena dirinyalah yang benar-benar berkuasa dibidang itu.
Terpaan awal cahaya mentari ditambah sejuknya suasana pagi, menambah hidayah tersendiri bagi jiwa dan raga manusia. Bagiku, pagi seperti ini, akan selalu disambut dengan semangat membahana. Semangat yang dihadirkan untuk menyelesaikan konflik ke dirian. Konflik yang hadir karena tuntutan rasa yang selalu membawa harapan, dan raga yang meminta berkompromi.
Dan benar, pagi adalah saat yang tepat untuk memulai dan menyelesaikan konflik ini. Karena pagi selalu jujur tentang kemenangan antara realisme dan idealisme yang selalu membawa kekacauan di pagi hari.
Idealisme sebenarnya menjadi ciri khas manusia, sebagai psikolog amatir ala teori atribusi yang membuat kita selalu mempunyai solusi tersendiri bagi masalah besar yang dihadapi saat pagi hari. Dan realisme, adalah pembuktian secara empiris tentang tembok besar yang akan dihadapi, saat impian itu terbangun dengan konstruksi yang kokoh.
Namun, seberapa besar pun impian yang dibangun, pagi menjadi cerminan tentang kejujuran. Pagi yang selalu menuntut konsistensi, segala hal yang terlibat di dalam-Nya. Tentang matahari yang selalu terbit, tentang embun yang mulai memudar, tentang jam yang terus berputar atau tentang kita yang enggan bertanya kabar.
Kerumitan kadang terjadi dengan sesederhana itu. Namun, ini harusnya menjadi contoh agar kita selalu siap untuk mendamaikan rasa yang membawa idealisme dan raga yang membawa realisme. Bahwa apa yang dipikirkan di pagi hari, harus jujur dan dilaksanakan dengan tulus sesuai keinginan rasa.
Yang jelas, semua kenikmatan yang pagi berikan, harus bisa dimanfaatkan dengan sebaik mungkin. Berjuta harapan harus mulai berjalan sejak pagi ini. Meskipun saat malam nanti, akan terukir harapan baru. Tapi itu menjadi sebuah konsekuensi bagi kita yang memilih hidup menjadi manusia, atau bahkan memilih untuk tetap hidup menjadi manusia yang terus menua.
Bahkan tulisan ini dibangun berdasarkan keinginan rasa yang terus bergelut di kepala, dan memaksa raga yang lelah untuk tetap terjaga dan mewujudkannya. Meskipun aku sendiri masih belum tahu, apa kenyataan setelah tulisan ini selesai.
Yang jelas, aku telah memilih untuk mewujudkannya. Meski realisme selalu menawarkan realitas yang menyebabkan impian ini terhempas jatuh dan terurai di gorong-gorong kasur dan diderasnya keringat saat tertidur pulas. Ini tak menjadi kesalahan. Justru yang salah adalah kita yang takut, bahkan tak pernah untuk bangun dan membayangkan mimpi besar. Dibandingkan mencoba bermimpi, dan ternyata digagalkan oleh realisme. Di situlah kita kembali membangun harapan dengan banyaknya kemungkinan-kemungkinan.
Apa pun itu, pagi ini harus dimanfaatkan untuk berpikir. Barangkali bisa diawali dengan air putih ditambah susu atau bahkan kopi, dan mungkin beberapa lembar buku baru, dengan posisi yang tepat menunggu terbitnya mentari pagi (Seperti yang penulis lakukan saat mulai menuliskan keributan pagi ini).
Baca Juga: Belajar Bersyukur dalam Lingkaran Insecure
Akhirnya, bersyukurlah bagi mereka yang diberikan keresahan di pagi hari. Keresahan yang membawa pertengkaran sebagai dorongan untuk terus melangkah maju, tak perduli rintangan apa yang akan dihadapi. Kita pantas berharap setiap harinya.
Karena terbangun dari lelapnya tidur, menandakan kita hidup. Tetapi terbangun dengan membawa impian besar, menandakan kita manusia.
Penulis: Rivaldi Hapili
Editor: Hudalil Mustakim
Abangda keren dgn
Keren bgt. Kalau tdak slah dalam buku Filosofi Teras by Henry Manampiring, kita tuh dianjurin buat resah pas bangun pagi. Kta dsuru mikir hal-hal yang mungkin akan jadi tantanhan kita di hari itu. Biar kta udah siap ama solusi jika pnya tantangan atau halangan di hari itu.
Thanks atas insightnya, Aldi