Daftar Isi
Tulisan ini saya buat guna untuk memenuhi persyaratan Magister Sosial dalam bentuk esai pengajuan proposal penelitian. Data yang berada dalam tulisan ini benar adanya dan dapat penulis pertanggungjawabkan.
Stigma Negatif Penderita Gangguan Jiwa
Persentase kasus gangguan jiwa dan mental yang dapat ditangani hanya sekitar 9% dari total penderita. Ini membuktikan bahwa kesadaran masyarakat akan isu kesehatan jiwa dan mental masih sangat rendah. Berbicara tentang gangguan mental merupakan sebuah kondisi di mana akan berdampak pada kehidupan penderitanya.
Dampak yang diberikan dari gangguan mental bisa mempengaruhi keadaan mental, jiwa, dan kesehatan fisik si penderitanya.
Dalam sesi tanya jawab penulis bersama salah satu dokter psikolog Indonesia, dr. Endah Ronawulan, Sp. Kj, melalui webinar edukasi skizofrenia, ia mengajak kita untuk lebih memahami apa itu gangguan mental atau mental illness dan penanganannya, serta persepsi yang salah di masyarakat akan penyakit mental ini.
Seseorang yang memiliki gangguan mental dianggap sebagai sebuah aib bagi keluarga atau masyarakat. Orang–orang yang depresi dianggap sebagai hal yang tabu dan disangkut-pautkan dengan kurangnya keimanan seseorang.
Stigma seperti ini yang menyebabkan banyak dari penderita gangguan jiwa dan mental yang lebih memilih untuk menutup diri dari masyarakat dan bersikap tidak terjadi apa-apa.
Padahal, faktor orang-orang bisa terkena depresi bukan hanya karena kurangnya keimanan, tetapi bisa disebabkan oleh faktor sosial, ekonomi, dan genetik.
Gangguan jiwa atau gangguan mental diartikan sebagai sebuah kondisi yang mempengaruhi perasaan, cara berpikir, pola berperilaku dan berinteraksi seseorang dengan orang lain.
Pada tahun 2018, Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) mendapatkan data bahwa ada sekitar 19 juta masyarakat Indonesia berusia 15 tahun ke atas menderita gangguan mental dan 12 juta orang diperkirakan mengalami kondisi depresi.
Baca juga: Lagu Self Healing sebagai Evaluasi Diri di Masa Quarter Life Crisis
Gejala Gangguan Jiwa
Gangguan jiwa dan mental ini bermacam-macam jenisnya, mulai dari gangguan kecemasan, gangguan kepribadian, gangguan makan, gangguan psikotik, dan gangguan suasana hati.
Hal-hal yang dapat terlihat dari orang yang menderita gangguan jiwa adalah dari caranya menanggapi suatu keadaan. Penderita gangguan jiwa umumnya akan merespon suatu hal yang biasa dengan cara yang berlebihan. Mereka akan merasakan rasa sedih yang berlebihan hingga emosi yang meledak-ledak.
Mental illness memang sering diberi stigma negatif dan dikaitkan dengan ‘orang gila’. Sementara, dr. Endah mengatakan istilah tersebut tidak dapat dipakai lagi. “Kita harus menyebutnya dengan ‘Orang dengan Gangguan Jiwa’ atau ODGJ.”
Sering kali di masyarakat, para penderita mental illness diperlakukan dengan cara yang justru malah semakin memperburuk keadaan mereka. Ada yang menanggapi bila mereka bersikap terlalu berlebihan.
Tidak sedikit pula orang yang menasehati dengan perkataan yang membebani perasaan penderita, bahkan ada pula yang melakukan praktik ruqiyah.
Faktor yang Mempengaruhi Gangguan Jiwa
Dalam sisi medis, mental illness adalah hal yang wajar, seperti halnya penyakit umum lainnya. Pada dasarnya, penderita mental illness memerlukan dukungan dari orang terdekat.
Dukungan ini sangatlah penting untuk proses pemulihan mereka. Tahanlah untuk tidak menghakimi atau juga menasihati mereka yang menderita penyakit psikis ini. Faktor yang dapat mempengaruhi gangguan jiwa atau mental illnes adalah:
1. Pengalaman Traumatik
Ada beberapa kemungkinan penyebab yang mendasari respon penderita mental illness. Salah satunya adalah faktor stresor atau pengalaman traumatik yang terjadi secara terus-menerus.
Penulis menemui orang yang mengalami mental illness dilingkungan sekitar penulis. Penderita merupakan orang terdekat penulis yang mengalami mental illness.
Kurang lebih enam bulan lalu, penderita merasakan sedih dan trauma yang mendalam. Penderita benar-benar mengalami pemukulan oleh anak kandungnya sendiri hingga diusir dari rumahnya. Hal ini tentu membuat tekanan batin si penderita.
Tekanan yang terjadi pada penderita pada akhirnya membuat otaknya kacau, bahkan sampai di kondisi ia tidak bisa lagi mengendalikannya.
Kejadian tersebut merupakan contoh dari pengalaman traumatik.Trauma yang dialami berulang kali itulah yang menimbulkan pengalaman buruk. Alhasil, emosi tidak bisa lagi dikendalikan oleh manusia dengan akal sehat.
2. Faktor Keturunan
Selain pengalaman traumatik atau terkena stresor, faktor keturunan juga bisa jadi penyebab seseorang menderita mental illness. Jika ada anggota keluarga yang menderita gangguan jiwa, maka anggota keluarga lainnya memiliki potensi lebih besar mengalami gangguan jiwa dibandingkan dengan orang yang tidak memiliki faktor keturunan.
Studi genetik menunjukkan bahwa pada kembar monozigot, kasus skizofrenia terjadi dengan peluang 40–50% apabila kembarannya mengidap skizofrenia. Sedangkan pada kembar dizigot, peluang terjadinya kasus skizofrenia turun hanya 10-15%.
Namun, perlu diingat bahwa faktor genetik tidak semata-mata menjadi faktor utama penyebab gangguan jiwa. Faktor lingkungan yang meliputi prenatal (sebelum kelahiran), sesudah kelahiran, imigrasi, dan pola asuh juga menjadi faktor penyebab skizofrenia ini.
3. Zat Psikotropika
Gangguan mental juga bisa diakibatkan oleh zat psikotropika yang dapat dijumpai di dalam alkohol dan obat-obatan tertentu. Bahan-bahan tersebut dikenal dapat memicu terjadinya perubahan mental dan perilaku seseorang.
Kekeliruan yang dialami kebanyakan orang adalah mental illness dapat diidentifikasi sendiri. Padahal, hal tersebut hanya dapat dilakukan oleh profesional, yaitu psikiater dan psikolog.
Oleh karena itu, ada baiknya orang yang menderita gangguan jiwa mencari bantuan ahli yang lebih mengerti dan dapat melakukan identifikasi terhadap masalah mental yang sedang dialami.
Dalam hal metode identifikasi ahli, dr. Yance Lumentut salah satu psikiater Gorontalo menerangkan Mereka akan menggali sumber masalahnya apa, mencari metode terapi yang tepat seperti apa, bagaimana penderita harus menghadapinya (penyakit mental), serta bagaimana keluarga harus memberi dukungan kepada penderita, sebagai caregiver.
Ketika memeriksakan diri ke psikiater atau psikolog, penderita bisa memperoleh penanganan yang lebih tepat untuk kesembuhan penyakit mental.
Perlu diketahui bila masing-masing ahli memberikan perawatan yang berbeda. Kalau psikiater dapat meresepkan obat yang dibutuhkan pasien, psikolog lebih menerapkan cognitive behaviour therapy (CBT) yang menekankan pada perilaku pasiennya.
Jika misalnya salah mendatangi salah satunya, biasanya ahli tersebut akan menyarankanmu untuk berkonsultasi ke ahli yang lainnya.
Ada banyak dari masyarakat yang masih mempunyai pikiran bahwa seseorang yang terkena gangguan jiwa dan mental merupakan aib di masyarakat. Gangguan jiwa dan mental ini juga sering dikaitkan dengan hal mistis atau kurangnya kereligiusan dalam diri seseorang.
Stigma seperti ini yang harus diluruskan. Saya sebagai seorang mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi, Universitas Negeri Gorontalo yang nantinya akan terjun sebagai Volunteers Mental Illness, harus turut berkontribusi aktif dalam meluruskan stigma tentang gangguan jiwa dan mental di masyarakat.
Penulis: Fadzrin Manassai
Editor: Sahril