Kota Gorontalo merupakan ibu Kota Provinsi Gorontalo yang terletak di bagian utara pulau Sulawesi, Indonesia. Gorontalo memiliki julukan “Bumi Serambi Madinah. Akan tetapi, pada ulasan kali ini, saya tidak akan membahas letak geografis Gorontalo itu sendiri. Melainkan membahas mengenai lunturnya bahasa tradisional Gorontalo di tanah Gorontalo itu sendiri.
Saya hanya akan membahas terkait dengan berkurangnya minat budaya dan pelestarian bahasa lokal terhadap anak muda, khususnya di Kota Gorontalo sebagian besar dari orang yang pernah saya temui. Seperti halnya daerah lain di nusantara, Gorontalo pun memiliki bahasa daerah yang unik dan keren yang kini mulai hilang seiring berkembangnya zaman.
Apakah perkembangan yang salah? Saya pikir kamu bisa menjawabnya sendiri.
Artikel Terkait: Sore dan Jajanan di Malioboro Gorontalo
Sebagai orang yang merantau dari desa ke kota, saya melihat kurangnya anak muda di Kota Gorontalo kurang menggunakan bahasa tradisional Gorontalo. Padahal, Bahasa Gorontalo merupakan bahasa asli Gorontalo, dan perlu dilestarikan agar terus digunakan sebagai kekayaan Daerah Gorontalo hingga ke generasi-generasi penerus.
Berdasarkan pengalaman pribadi, saya pernah berada di posisi ketika saya sedang berbicara dengan teman-teman menggunakan bahasa gorontalo, kemudian teman-teman saya justru menertawakan hal tersebut, sambil bertanya “Apa yang ngana bilang ini? Co pake kamari bahasa yang torang tau uti” yang artinya, ”Kamu bicara apa? Coba gunakan bahasa yang kita pahami.” Padahal saya menggunakan bahasa tradisional Gorontalo, yang harusnya dipahami oleh anak muda di Gorontalo. Namun, saya sudah terbiasa dengan hal yang seperti itu, lantas saya hanya bisa menertawakan pertanyaan yang sangat konyol itu.
Selaku orang gorontalo, terkadang saya sering bertanya kepada diri saya sendiri, kenapa mereka jarang menggunakan bahasa daerahnya sendiri? Bahkan ada yang tidak bisa sama sekali menggunakan bahasa daerah tersebut, apakah di sekolah tidak diajarkan perihal bahasa daerah tersebut? atau mereka sendiri yang tidak mau belajar? Namun, kita, selaku orang Gorontalo, khusunya anak muda wajib untuk melestarikan bahasa tradisional Gorontalo. Sehingga bagi saya, fenomena ini cukup miris.
Pernah suatu saat, saya melihat abang somai yang berjualan di sekitar depan pintu gerbang kampus Universitas Negeri Gorontalo (UNG). Pada saat itu saya sedang membeli somai, abang somai tersebut sedang berbicara dengan temannya yang juga berjualan di sekitar situ. Mereka menggunakan Bahasa Jawa dan sangat komunikatif.
Artikel Terkait: Mengenal Buku Momu’ato 1: Asal-Muasal Nama Kampung Gorontalo
Terlepas dari apa yang mereka bicarakan, saya bertanya kepada kawan, sambil makan cilok dan beranjak balik seraya bertanya:
“Kinapa eee orang Jawa kalau mo baku dapa di kampung orang dorang mo pake bahasa daerah li dorang? Sedangkan torang, orang Gorontalo yang tinggal di Gorontalo, tidak mo pake bahasa gorontalo? deng kita rasa olo kalo orang Gorontalo mo baku dapa di kampung orang tidak mo pake Bahasa Gorontalo dorang.”
Percakapan tersebut jika diterjemahkan ke Bahasa Indonesia, kira-kira seperti ini:
”Kenapa ya, kalau orang sesama Jawa bertemu di perantauan, mereka berkomunikasi dengan Bahasa Jawa, Sedangkan kita, sebagai orang Gorontalo yang juga tinggal di Gorontalo, tidak menggunakan bahasa tradisional Gorontalo? Dan saya pikir, jika sesama orang Gorontalo bertemu di perantauan, pasti mereka tidak menggunakan bahasa tradisional Gorontalo.”
Saya pernah membaca quotes dari satu pepatah Jawa, bahwa:
”Kalau saya kadang bicara pakai bahasa (daerah) Jawa, jangan bilang jawasentris, saya cuman berekspresi sebagai orang Jawa. Saya lahir dan dibesarkan di Jawa. Diperintah Tuhan jadi orang Jawa. Maka saya mencintai dan mendalami budaya saya.
“Emha Ainun Nadjib”
Berdasarkan quotes tersebut saya berharap, selaku orang Gorontalo yang memiliki bahasa daerah yang keren dan unik, kita harus bisa berbahasa Gorontalo, dan tentu wajib melestarikannya.
Sebagai orang yang over sharing, saya ingin sampaikan bahwa persoalan Bahasa Gorontalo yang mulai luntur merupakan topik penelitian yang menarik bagi saya, sayangnya tidak diterima oleh dosen pembimbing saya.
Penulis: Ziat Hasan
Editor: Sahril Humolungo
Menurut saya, hal ini ada kaitannya dengan pendidikan di daerah itu sendiri. Dalam pandangan saya, terkikisnya budaya bahasa ini karena kurangnya kesadaran otoritas daerah khusunya pada lembaga pendidikan akan pentingnya budaya ‘bahasa’ itu sendiri.
Iya juga sih bang. Waktu saya SD ada mata pelajaran mulok, dan di situ kita belajar Bahasa Gorontalo. Tapi saat ini, saya kurang tau apa masih ada atau tidak
manteup, sy aja suka dan pengen belajar bahasa daerah lain , apa lagi gorontalo karna pernah datang kesana dan berkomunikasi langsung 😁